Senin, 20 Februari 2017

KESENJANGAN KESADARAN BENCANA DI INDONESIA (Studi Kasus Jawa Barat dan Riau)


 Tri Annisa Fajri
(Sudah dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jawa Barat, Edisi 19 Januari 2017)
Wilayah di Indonesia terbagi atas satuan wilayah sungai yang biasa disebut dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Wilayah geografis tersebut menjadikan wilayah administratif terpisah berdasarkan satuan DAS. Bentang alam DAS memiliki kekayaan sumber daya air yang dimanfaatkan oleh semua pihak. Berkaitan dengan salah satu sumber daya air, penulis tertarik mengulas mengenai perbedaan antara kondisi sumber daya air dan dampaknya terhadap kehidupan masyakarat di dua wilayah yang berbeda, DAS Citarum & DAS Kampar di Provinsi Riau (banjir).

Berdasarkan historisnya, banjir besar Citarum tercatat pertama kalinya terjadi pada tahun 1931 (BBWS-Citarum), 1986, hingga 2016. Sedangkan banjir besar di Kampar diketahui terjadi pada tahun 1978 sehingga di tahun 1996, dibangun waduk (PLTA Kota Panjang) dengan tujuan mengurangi banjir sekaligus untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah Riau dan sekitarnya. Akan tetapi, celakanya, pada awal tahun 2015 lalu, banjir besar terjadi lagi di sepanjang aliran Sungai Kampar.

Pola Hidup Masyarakat
Jika dilihat dari penyebab banjir, akar penyebab banjir di DAS Citarum hampir sama dengan di DAS Kampar. Hulu DAS Citarum sebagian besar sudah dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan oleh masyarakat setempat, seperti tanaman holtikultura dan tanaman semusim lainnya. Begitu juga halnya dengan kawasan hutan lindung di hulu DAS Kampar dan di sekitar waduk PLTA Kota Panjang, telah digantikan oleh perkebunan sawit. Lahan yang dulunya ditopang oleh hutan sudah berubah menjadi tanaman yang tidak memiliki kapasitas untuk menyerap dan menyimpan air. Tindakan para eksploitaser yang tidak memperhitungkan fungsi kawasan hulu DAS. Mereka sama sekali tidak ‘menghormati’ keberadaan waduk PLTA Kota Panjang. Waduk yang telah mengamankan kehidupan masyarakat Kampar selama 20 tahun.

Selanjutnya, pola hidup masyarakat Bandung Selatan yang penulis amati yang pertama adalah dari cara mendirikan rumah. Saat berjalan menyusuri wilayah Sungai Citarum dan anak sungai lainnya, terlihat permukiman yang berada di sepanjang pinggiran sungai didirikan membelakangi sungai. Kedua, kebiasaan membuang sampah ke sungai yang dipermudah dengan adanya saluran pembuangan limbah rumah tangga yang dialirkan ke badan sungai. Sedangkan jika dilihat di dalam pola kehidupan masyarakat Kampar atau Riau secara umum, sampah yang ada di lingkungan rumah akan dibakar di halaman rumah yang biasa disebut dengan istilah mowun saghok yaitu membakar sampah. Selain itu, di sepanjang sungai Kampar penulis belum melihat rumah yang dibangun membelakangi sungai. Tapi kesimpulannya, banjir tetap terjadi di kedua wilayah ini yang disebabkan oleh penghilangan kawasan lindung.

Kesenjangan itu!
Disadari bahwa tingkat kesiapsiagaan dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana berbeda-beda. Dua wilayah yang dibahas dalam tulisan ini memiliki kesiapsiagaan yang berbeda.

Warga yang tinggal di kawasan Bandung Selatan memiliki sumber daya manusia dan komunitas yang dapat menghubungkan mereka satu dengan yang lainnya. Penduduk di Bandung Selatan sudah terbiasa dengan banjir bahkan sudah menjadi gaya hidup mereka. Kesiapsiagaan masyarakat sudah terbentuk dengan cara meninggikan perabotan dan barang elektronik di rumah mereka masing-masing. Selain itu, terdapat beberapa rumah yang pondasinya telah ditinggikan dan penambahan jumlah lantai rumah.

Penduduk di Bandung Selatan sepenuhnya sadar bahwa hujan yang terjadi di hulu Citarum dan di Kota Bandung berpotensi mendatangkan banjir di tempat mereka. Berkat adanya komunitas ‘warga siaga’ yang selalu memberikan peringatan melalui media sosial. Oleh karena itu, komunitas tersebut berfungsi sebagai flood early warning system dan meningkatkan kapasitas masyarakat sekitar. Ditambah lagi di dalam komunitas medsos tersebut terdapat berbagai pihak dari berbagai profesi dan kelimuan beragam yang membantu mendiseminasikan informasi (cuaca dan lain-lain).

Bandingkan dengan kesiapsiagaan masyarakat di DAS Kampar. Sejak banjir di tahun 1978, mereka belum mengalami banjir seluas yang terjadi di awal tahun 2015. Akibatnya, antipasti kehilangan harta dan nyawa belum dilakukan sepenuhnya. Hal yang sangat disayangkan adalah, di beberapa kecamatan terdapat sirine untuk peringatan dini banjir yang didirikan oleh PLN dan PLTA Kota Panjang. Agaknya dengan alasan tidak ingin membuat panik masyarakat sirine tersebut tidak difungsikan atau memang tidak ada maintenance dari pihak terkait. Jadi, sistem peringatan dini di sini jauh dari kata optimal.

Lalu Harus Bagaimana?
Berbagai tindakan struktural telah dilakukan pemerintah seperti pengerukan sungai dan normalisasi. Namun, tindakan tersebut seperti tidak memberikan pengurangan apa pun terhadap risiko banjir Bandung Selatan. Miliyaran dana dihabiskan dalam rangka upaya pengurangan banjir. Bahkan, sangat banyak event-event skala nasional yang mengusung tema ‘Citarum Bebas Banjir’ dan sebagainya, namun harapan masyarakat Bandung Selatan sepertinya belum terjawab.

Mari melihat ke DAS yang lain yang belum banyak disoroti di pulau lain di Indonesia. Kejadian banjir yang terjadi di setiap musim hujan menjadi teror bagi penduduk yang tinggal di sekitar sungai. Alih fungsi dan pelanggaran penggunaan lahan tidak menjadi fokus utama bagi pemerintah. Tindakan favorit adalah aksi tanggap darurat saat bencana terjadi dan ‘cuek’ dengan bagaimana cara supaya kejadian yang sama tidak terulang kembali.

Jadi, sebagai penutup, apakah banjir di DAS Kampar dan DAS-DAS lainya menunggu separah dan sesering di DAS Citarum? Apakah menunggu hebohnya pemberitaan di media massa kemudian baru bergerak untuk tindakan darurat? Selanjutnya, apakah hanya masyarakat terdampak yang selalu didorong untuk siap siaga, lebih sadar akan ancaman bencana tanpa menindaklanjuti sumber dari bencana tersebut?


Jelas terlihat bahwa kesadaran masyarakat akan muncul ketika mereka sudah sangat lama menderita akibat bencana dan bagi yang tidak aware hanya menunggu nasib saja. Banjir yang menerjang Kabupaten Garut dan diikuti oleh Kota Bandung kemarin barulah menjadi topik pembicaraan hangat di mana-mana. Tindakan penyusutan oleh polisi untuk menemukan pelaku perusak hutan DAS Cimanuk pun menjadi sorotan. Apakah hal itu akan benar-benar dilakukan? Bagaimana dengan DAS Kampar dan DAS di daerah lainnya? Banjir di Bima, di Aceh, dan daerah lainnya? Barangkali sudah bisa dijawab.

0 komentar:

Posting Komentar