Selasa, 20 Desember 2016

Setelah Banjir, Waspada Kekeringan!

Telah dimuat di opini Riau Pos
Edisi 11 Februari 2016

Suatu kejadian dikatakan sebagai sebuah bencana adalah jika menyebabkan kehilangan nyawa, kerusakan harta benda dan mengganggu psikologis sekelompok orang. Bencana banjir yang terjadi dimulai dari daerah Pangkalan Kapur XI, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat merupakan kejadian yang sudah merusak bahkan menyebabkan kehilangan nyawa. Termasuk di Kabupaten Kampar yang sebagian besar merupakan daerah tangkapan air (DAS Kampar).

Genangan yang terjadi di pinggiran Sungai Kampar menjadi tontonan bagi penduduk setempat yang memang mengagetkan karena belum pernah terjadi sejak tahun 1978. Namun lagi-lagi, tidak ada catatan kejadian banjir yang tercatat di instansi pemerintahan atau pun dinas kabupaten. Sejarah ini hanya dituturkan dari para tetua kita yang dulunya mengalami banjir besar.

Sekiranya kita berduka cita dan bersedih dengan adanya bencana banjir besar ini. Hal ini dikarenakan kita sebagai manusia, di setiap kejadian yang dapat dikatakan sebagai sebuah masalah, harus menyikapinya secara logis dan tindakan yang tepat. Oleh karena itu, yang menjadi tugas penting kita bersama adalah bagaimana mencari solusi atas kejadian buruk yang menimpa bersama dengan ketidaktahuan mengenai apa yang harus dilakukan pada saat bencana menimpa.

Pertanyaannya adalah, apakah kita hanya mengatasi masalah pasca bencana tersebut terjadi atau mencari serta menemukan solusi atas permasalahan tersebut.

Banjir yang terjadi sejak Januari lalu seharusnya menyiratkan akan kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat terutama pemerintah dalam berkoordinasi atau bekerja sama dalam menghadapi kejadian berikutnya (lebih parah). Namun, sepertinya hal itu tidak bekerja dengan optimal.

Penduduk Kampar harus mengetahui bahwa sebagian besar wilayah hulu DAS Kampar terletak di daerah mereka sendiri, yaitu 91% sedangkan 9% berada di provinsi tetangga. Hal ini mengharuskan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk berkoordinasi bukan hanya sekedar merencanakan program pelestarian DAS yang mengcover lintas sektor namun juga pengimplementasian dan pengawasan daerah hulu di daerah bersangkutan.

Penyebab Banjir
Seperti tulisan penulis bulan lalu, opini edisi 26 Januari 2016, yang menjadi penyebab atas musibah ini bukanlah curah hujan yang selalu turun selama beberapa hari tiada henti, bahasa Kamparnya, ‘ujan towui aghi, ndak bonti-bonti do!’. Sekali lagi, bukan itu yang jadi permasalahan utama bencana banjir ini. Penulis mengajak kepada masyarakat terutama pemerintah untuk memahami bagaimana kejadian yang sudah lama tidak terjadi ini kembali berulang di tahun 2016. Bahkan barangkali hanya sebagian orang yang mengetahui bahwa tujuan dari pembangunan waduk PLTA Koto Panjang adalah untuk memitigasi banjir yang terjadi puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang? Siapa yang bertanggung jawab atas permasalahan ini? Bagaimana antisipasi bencana yang dapat dikatakan sebagai bencana akibat perbuatan manusia ini?

Penulis mengasumisikan bahwa banjir yang sangat besar tersebut bukan disebabkan oleh faktor alam atau fisik melainkan karena akibat tindakan manusia. Barangkali bukan rahasia umum lagi, jika kawasan hutan lindung yang ada di daerah hulu DAS Kampar dan di sekitar waduk PLTA Kota Panjang sudah dirubah dengan sengaja untuk area penggunaan lain (APL). Akan tetapi, mengapa tindakan ini begitu mudah dilakukan oleh oknum-oknum tersebut? Bagaimana mendapatkan izin untuk menggarap lahan yang seharusnya melindungi banyak orang dari bencana banjir beberapa hari kemarin?

Seharusnya kita semua sadar, sejak tahun 1978 memang terjadi banjir besar di sepangjang sungai Kampar. Dikarenakan topografi yang rendah maka membuat pemimpin pada saat itu mencanangkan adanya waduk yang berfungsi menahan debit air yang berasal dari provinsi tetangga. Tindakan inilah yang disebut dengan mitigasi struktural. Namun, sayang, hanya berselang 38 tahun sejak waduk ini diresmikan, yaitu tahun 1996, fungsi tersebut hilang hanya dalam waktu 1 hari. Penulis juga menyangsikan bahwa kejadian banjir ini akan terus berulang tiap tahunnya dengan intensitas yang berbeda, jika tata guna lahan di kawasan hulu di daerah tersebut tidak diperbaiki atau dikonservasi oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Apabila dibiarkan oleh pemerintah, maka hanya tinggal menunggu bencana selanjutnya.

Setelah banjir akan ada kekeringan
Sistem alam yang perlu diingat bahwa, jika suatu kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan resapan air (kawasan hutan lindung) diubah menjadi lahan terbuka maka air hujan yang jatuh tidak akan terserap secara maksimal oleh tanah. Akibatnya, limpasan permukaan seterusnya debit sungai tidak dapat dielakkan sehingga mengakibatkan banjir. Nah, dikarenakan tidak ada simpanan air yang diserap oleh vegetasi yang berada di kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung, artinya, kandungan air tanah akan semakin berkurang.

Kita semua mengetahui bahwa air tanah berfungsi sebagai sumber air untuk kehidupan manusia. Daerah hulu yang memiliki topografi yang tinggi akan mengalirkan air tanah tersebut ke daerah yang lebih rendah lainnya, dalam hal ini daerah DAS bagian tengah dan hilir. Jika sebelumnya sudah terjadi aliran permukaan secara besar-besaran dan tidak terdapat simpanan air di dalam tanah ketika musim hujan (berujung banjir), akibatnya kemudian jika musim hujan telah berakhir, cadangan air bawah tanah tidak akan cukup tersedia untuk kehidupan masyarakat. Dampak lainnya sumber air yang ada di waduk pun menjadi berkurang, akibatnya kekurangan air tersebut membuat tidak maksimalnya fungsi kerja alat pembangkit listrik di waduk PLTA Kota Panjang. Apakah hal ini sudah dipikirkan oleh masyarakat? Apakah dampak tersebut sudah diantisipasi oleh pemerintah?
Wallahu’alam

Paradigma Penanggulanan Bencana yang Salah Kaprah
Bencana yang terjadi memerlukan manajemen yang komprehensif dan terukur. Manajemen tersebut dilakukan dengan perencanaan penanggulangan bencana, dimulai dari pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, emergency response dan rehabilitasi dan rekonstruksi. Penulis tidak akan menguraikan semua tahap tersebut. Namun yang menjadi inti permasalahan banjir atau lingkungan lainnya di Provinsi Riau adalah tidak teregulasinya buku pedoman tata ruang provinsi dan berefek kepada kebijakan RTRW kabupaten/kota di bawahnya. Permasalahan RTRW ini sangat riskan sehingga menyebabkan berbagai permasalahan dan sengketa lahan di berbadai daerah. Sekarang, Kabupaten Kampar, wilayah yang luas dan ber-geomorfologi dataran banjir menjadi sangat rawan untuk terjadi banjir. Namun dengan adanya pembangunan waduk PLTA Kota Panjang mengurangi kejadian banjir di daerah tengah dan hilir, akan tetapi sekarang yang terjadi adalah banjir besar di daerah hulu dan tengah DAS Kampar.

Apakah sudah terlambat bagi pemerintah daerah untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelanggaran tata guna lahan di kawasan lindung? Apakah begitu mudah untuk memberikan izin untuk merubah kawasan lindung menjadi kawasan perkebunan di daerah tangkapan air? Sungguh, kebijakan ini hanya akan menyengsarakan rakyat yang sedang berjuang untuk memperbaiki kehidupan. Alih-alih pemerintah mencanangkan Kabupaten Kampar sebagai kabupaten maju dan terbaik di Provinsi Riau. Kenyataannya, masalah lingkungan dan bencana saja pemerintah seperti tidak menyadari betapa pentingnya untuk menjaga kawasan lindung dari pihak-pihak bermodal besar. Sekali lagi, manajemen bencana bukan hanya berada pada tahap tanggap darurat namun pencegahan dan mitigasi adalah hal yang harus dilakukan dengan segera dan sangat tegas sehingga banjir yang sepertinya akan terjadi di tiap tahun setelah ini akan semakin besar peluang terjadinya serta ancaman kekeringan pun tak bisa dihindarkan.

0 komentar:

Posting Komentar