Selasa, 29 Mei 2018

Kesadaran untuk Kembali Harum


Wilayah di Indonesia terbagi atas satuan wilayah sungai yang biasa disebut dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Bentang alam DAS memiliki kekayaan sumber daya air dan lahan yang dimanfaatkan oleh semua pihak, lintas sektor dan lintas wilayah administratif. Berkaitan dengan salah satu sumber daya air, penulis tertarik mengulas di awal tulisan mengenai sejarah banjir di DAS Citarum & DAS Kampar di Provinsi Riau. Kemudian mengenai perbedaan antara kondisi sumber daya air dan pemanfaatan lahan di dua wilayah tersebut. Lalu diakhiri dengan solusi potensi pelestarian yang dapat dilakukan untuk mengharumkan kembali Sungai Citarum.

Berdasarkan historis yang tercatat, banjir besar Citarum pertama kalinya terjadi pada tahun 1931 (BBWS-Citarum). Kemudian kembali terjadi dengan skala banjir yang lebih besar tahun 1986. Adapun banjir skala kecil juga sering terjadi di setiap tahunnya hingga tahun 2017. DAS Citarum dengan topografi yang tajam sedangkan DAS Kampar dengan keadaan wilayah yang relatif datar. Sedangkan banjir besar di kawasan DAS Kampar yang tercatat terjadi pada tahun 1978. Akibatnya pada tahun 1996, pemerintah merealisasikan pembangunan waduk (PLTA Kota Panjang) dengan tujuan mengurangi banjir. Selain tujuan mitigasi banjir, waduk tersebut dibangun sekaligus untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah Riau dan sekitarnya. Akan tetapi, pada awal tahun 2015 lalu, banjir besar terjadi lagi di sepanjang aliran Sungai Kampar. Hal lain yang menarik adalah kawasan hulu DAS Kampar ini berada di kabupaten di provinsi Sumatera Barat yang bersebelahan langsung dengan Kabupaten Kampar. Fakta ini mengindikasikan keterlibatan antar wilayah provinsi dan bukan hanya lintas sektor.

Jika dilihat dari penyebab banjir, akar penyebab banjir di DAS Citarum hampir sama dengan di DAS Kampar. Hulu DAS Citarum sebagian besar sudah dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan oleh masyarakat setempat, seperti tanaman holtikultura dan tanaman semusim lainnya. Begitu juga halnya dengan kawasan hutan lindung di hulu DAS Kampar dan di sekitar waduk PLTA Kota Panjang, telah digantikan oleh ladang sawit. Lahan yang dulunya ditopang oleh hutan lindung sudah berubah menjadi tanaman yang tidak memiliki kapasitas untuk menyerap dan menyimpan air. Kawasan yang seharusnya diatur dalam rencana tata ruang menjadi kawasan perlindungan kawasan bawahannya sudah dihilangkan fungsinya. Penyebabnya adalah tindakan para eksploitaser yang tidak memperhitungkan fungsi kawasan lindung dan penyangga waduk tersebut. Pihak-pihak tersebut seakan tidak ‘menghormati’ keberadaan waduk PLTA Kota Panjang yang telah mengamankan kehidupan masyarakat Kampar selama kurun waktu lebih dari 20 tahun.

Pola Hidup Masyarakat
Mengenai pola hidup masyarakat, penulis mencoba untuk memaparkan beberapa kondisi yang diamati di Kawasan Bandung Selatan. Wilayah yang mewakili DAS Citarum bagian hulu dan yang paling sering mengalami banjir Citarum serta merupakan kajian tesis penulis saat menyelesaikan studi di Kota Bandung. Pola hidup masyarakat Bandung Selatan yang penulis amati yang pertama adalah dari cara mendirikan rumah. Saat berjalan menyusuri wilayah Sungai Citarum dan anak sungai lainnya, sebagian besar rumah penduduk yang berada di sepanjang pinggiran sungai didirikan membelakangi sungai. Padahal aturan yang semestinya adalah tidak membelakangi sungai. Kedua, kebiasaan membuang sampah ke sungai memang sudah menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat. Hal ini dipermudah dengan adanya saluran pembuangan limbah rumah tangga yang dialirkan ke badan Sungai Citarum (Gambar 1).

Gambar 1. Saluran Pembuangan Limbah Rumah Tangga di Dayaeukolot
(Dokementasi pribadi, 2016)

Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa kebiasaan dan struktur permukiman yang memudahkan pembuangan sampah di kawasan Sungai Citarum. Dampaknya adalah banjir yang selalu terjadi tiap tahunnya. Tentu hal ini bukan faktor utama penyebab banjir di kawasan Bandung Selatan ini, melainkan juga adanya pengaruh tutupan lahan yang sudah berubah di kawasan hulu yaitu menjadi kawasan holtikultura.

Sedangkan jika dilihat di dalam pola kehidupan masyarakat Kampar atau Riau secara umum, cara mendirikan rumah adalah tidak membelakangi sungai, akan tetapi menghadap ke badan sungai. Seperti pada gambar 2 juga terlihat bahwa adanya jarak antara permukiman dengan badan sungai yang biasa disebut dengan sempadan sungai. Kemudian, budaya di daerah ini adalah kebiasaan membakar sampah yang ada di sekitar rumah penduduk. Sampah yang ada di lingkungan rumah akan dibakar di halaman rumah yang biasa disebut dengan istilah mowun saghok (merun). Jadi, tidak menjadi hal lumrah jika sampah di sekitar rumah dibuang ke sungai. Kesimpulannya dari penjelasan perbedaan di atas adalah banjir yang kerap terjadi di kedua wilayah ini disebabkan oleh penghilangan kawasan lindung. Citarum dengan holtikuluranya dan Kampar dengan sawitnya.


Gambar 2 Struktur Permukiman di Sungai di Riau
(dokumentasi pribadi, 2018)


Solusi dan Potensi Masyarakat
Berbagai tindakan struktural telah dilakukan pemerintah seperti pengerukan sungai dan normalisasi. Namun, tindakan tersebut seperti tidak memberikan pengurangan apa pun terhadap risiko banjir Bandung Selatan. Miliyaran dana dihabiskan dalam rangka upaya pengurangan banjir. Bahkan, sangat banyak event-event skala nasional yang mengusung tema ‘Citarum Bebas Banjir’ dan sebagainya, namun harapan masyarakat Bandung Selatan sepertinya belum terjawab.

Namun, ada baiknya semua elemen masyarakat sama-sama merubah keadaan saat ini menjadi lebih baik. Dimulai dari hal yang kecil dan merubah kebiasaan yang merugikan keadaan sekitar. Menurut penulis, pola rumah penduduk yang membelakangi sungai dapat dirubah sedemikian rupa. Saluran pembuangan limbah yang memang sengaja diposisikan mengalir ke badan sungai dapat dihilangkan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah penutupan saluran limbah tersebut dan menggantinya dengan sarana pembuangan limbah. Penyediaan sarana ini menjadi tanggung jawab dari dinas atau kementrian terkait yaitu pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Akan tetapi, bagiamanakah tindakan penyadaran kepada masyarakat?

Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan sosialiasi di sekolah tingkat dasar hingga menengah di semua kecamatan yang dialiri Sungai Citarum dan anak sungainya. Fokus dalam sosialisasi ini adalah memberikan gambaran terburuk dari pembuangan limbah ke badan sungai. Dengan demikian, siswa yang mendapatkan paparan mengenai dampak pembuangan limbah rumah tangga ke sungai menjadi paham dan aware terhadap bahaya yang dapat mengancam kesehatan mereka dan keluarganya. Selanjutnya di tingkat keluarga yaitu ibu rumah tangga beserta kepala keluarga, adalah dengan penyuluhan di setiap RT dan RW. Penyuluhan tersebut menjelaskan kepada warga untuk tidak lagi membuah sampah dan limbah rumah tangga ke sungai sekaligus diberikan sarana kebersihan di masing-masing rumah. Sarana tersebut dapat berupa IPAL komunal, penyediaan alat angkut dan penyedot tinja, penyediaan air baku, dan instalasi air dan lainnya sehingga tidak akan ada lagi yang membuang limbah ke sungai. Diharapkan metode persuasif sekaligus penyediaan sarana ini dapat mengubah pola pikir dan pola hidup penduduk setempat.

Kemudian jika melirik ke bagian hulu Sungai Citarum yang sudah menjadi kebun masyarakat, dapat dilakukan dengan beberapa pemberdayaan yang mengarah ke keberlanjutan ekonomi masyarakat. Contohnya adalah merubah tanaman holtikultura tersebut menjadi tanaman berkayu. Dalam hal ini tanaman tersebut dapat menyerap air dan juga menyimpan cadangan air karena perakarannya. Pengetahuan yang sering kita dapatkan adalah jika musim hujan terjadi, maka yang menjadi penahan air di wilayah hulu adalah tanaman berkayu. Dampaknya adalah aliran air permukaan tidak terlalu besar dibandingkan jika tidak ada pohon sama sekali. Nah, begitu juga sebaliknya, jika pada saat musim kemarau wilayah tersebut tidak akan mengalami kekeringan.

Berdasarkan sifat alam di atas, upaya yang dapat mengalihkan kegiatan perkebunan holtikultura penduduk adalah dengan mengganti jenis tanaman dengan tanaman kopi dan kaliandra. Tanaman kopi merupakan tumbuhan berkayu yang diharapkan dapat menjaga kestabilan air dan tanah di wilayah hulu, dapat juga menjadi potensi yang besar bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan menjamurnya bisnis cafe yang menjadi primadona oleh semua kalangan, khususnya para anak muda Bandung. Salah satunya adalah jenis kopi Sundanika yang dapat menjadi pilihan untuk dibudidayakan di kawasan hulu Citarum. Pemain inti dalam hal ini adalah petani kopi dan pengelola cafe di kawasan Bandung Raya. Pemilik cafe mendapatkan suplai kopi dari petani secara langsung, sehingga kualitas dan harga dapat diatur sedemikian rupa oleh kedua belah pihak. Jadi, ada keberlangsungan suplai bagi pemilik usaha dan keberlanjutan tanaman kopi bagi petani lokal.

Selanjutnya tanaman kaliandra yang juga dapat tumbuh di kawasan hulu Citarum. Banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari tanaman yang satu ini. Diantaranya adalah dari daunnya yang dapat dijadikan pakan ternak. Seperti yang diketahui bahwa di beberapa tempat di kawasan hulu Citarum sangat banyak peternakan yang dikelola masyarakat. Dari daun tumbuhan ini dapat dijadikan pakan bagi ternak mereka. Selain itu, tanaman kaliandra juga dapat dijadikan sebagai sumber biofuel yang memiliki potensi yang sangat besar. Jika peluang ini segera dikembangkan, maka hasilnya kelestarian wilayah hulu kembali asri dan penduduk mendapatkan keuntungan dari hasil alamnya.

Dengan keanekaragaman tanaman yang dapat dikembangkan di wilayah hulu Citarum yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat memulihkan kehidupan masyarakat setempat yang tidak serta merta dilarang dari kegiatan perkebunan holtikultura. Masih sangat banyak potensi alam dan tanaman budidaya yang dapat dikembangkan di kawasan Citarum. Tujuan pengharuman citarum bukan hanya membatasi aktivitas penduduk melainkan mengembangan potensi usaha di masa mendatang dengan tidak mengorbankan kelestarian alam sekitar.

Akhirnya, bukan hanya tindakan struktural yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menciptakan Citarum Harum. Melainkan juga tindakan non struktural yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat setempat. Biaya yang dihabiskan untuk normalisasi sungai memang sangat besar. Tetapi untuk memberdayakan dan berada di tengah-tengah masyarakat jauh lebih efektif dan efisien.
Bencana yang terjadi adalah bukan hanya ditanggapi pada saat dan setelah bencana itu terjadi, melainkan bagaimana upaya-upaya pencegahan dilakukan sedini mungkin. Yang terdampak bencana dan buruknya lingkungan adalah masyarakat, sehingga yang lebih dulu diberikan perhatian dan preventive action adalah masyarakat. Terkadang, manusia berupaya sekuat tenaga untuk menghadapi bencana namun lupa bagaimana untuk mencegah agar tidak terjadi bencana. Semoga sungai-sungai lain di Indonesia tidak sampai menyamai keadaan terburuk Sungai Citarum dan semua pihak berharap Citarum kembali harum. Aamiin.

0 komentar:

Posting Komentar