Selasa, 20 Desember 2016

BERDIAM DIRI ATAU BERTINDAK???

Telah dimuat di Opini Riau Pos
Edisi 26 Januari 2016

Bencana banjir terjadi akibat berbagai faktor yaitu faktor fisik (alam) dan faktor non fisik (manusia). Salah satu faktor fisik yang selalu menjadi kambing hitam pada kejadian banjir di suatu wilayah adalah faktor curah hujan. Di media elektronik, cetak atau media sosial sekalipun selalu mengekspos bahwa penyebab banjir adalah karena si ‘curah hujan’.

Pertanyaannya adalah apakah adil dan bijak jika kita menyalahkan curah hujan sebagai dalang ‘banjir’ yang sama sekali adalah rahmat dari Sang Pencipta? Mari kita menelisik ke faktor lainnya, yaitu faktor non fisik atau lebih dikenal sebagai ulah tangan manusia, yaitu perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS), pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase, perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat dan penuruan tanah (Kodoatie & Sjarief, 2010).

Diantara faktor-faktor tersebut yang diyakini paling berpengaruh terhadap kejadian banjir adalah perubahan land use yang diakibatkan oleh kebutuhan aktivitas manusia terhadap lahan (Hazarika dkk, 2015; Rosyidie, 2013; Wangsaatmaja dkk, 2006). Kebutuhan terhadap lahan ini diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk, tuntutan pertumbuhan ekonomi dan faktor lainnya yang dapat dibahas dalam kajian lainnya.

Nah, hal inilah yang harus kita perhatikan secara seksama, apakah bencana yang terjadi diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi atau tindakan kita yang seolah-olah tidak paham bagaimana sistem hutan bekerja dalam suatu DAS atau Daerah Aliran Sungai (siklus hidrologi). Seyogyanya, air hujan yang jatuh dalam suatu wilayah tangkapan air hujan akan diserap oleh tanah yang bervegetasi hutan yang dinamakan dengan proses infiltrasi.

Namun ketika vegetasi hutan diganti dengan vegetasi lain seperti perkebunan sawit (perakaran), maka air hujan (presipitasi) yang jatuh tidak sepenuhnya diserap oleh tanaman ini. Akibatnya limpasan permukaan tidak dapat dibendung lagi. Ujung-ujungnya, aliran sungai atau kawasan daerah aliran sungai di bagian tengah dan hilir akan dilanda banjir disebabkan oleh berkurangnya tutupan lahan di kawasan hulu (catchment area).

Catchment area
Sekarang kita beranjak ke lokasi yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Sebuah waduk yang mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas 114 MW (https://pltakotapanjang.wordpress.com/) ini terancam mengalami penurunan usia pakai.

Hal ini disebabkan material erosi dan sedimentasi yang mungkin sedang terjadi dalam jumlah besar di wilayah hulu DAS. Dampaknya adalah tentu menghambat kinerja waduk itu sendiri, namun asumsi ini harus dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai laju erosi dan sedimentasi akibat penggundulan hutan di sekitar waduk dan di hulu di provinsi tetangga.

Harus diingat bahwa konstruksi hebat ini sekaligus berfungsi sebagai sumber tenaga listrik yang dirancang oleh kontraktor Sumitomo Corporation dari Tokyo, Jepang. Konstruksi ini merupakan salah satu bentuk mitigasi struktural dalam mengurangi risiko banjir yang dulunya barangkali dapat dikatakan sebagai palaeoflood (tidak ada catatan yang ditemukan namun berdasarkan penuturan para orang tua terdahulu banjir terjadi dalam genangan yang sangat luas).

Yang harus diperhatikan oleh pemimpin daerah baik kabupaten maupun provinsi, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya adalah kawasan yang berada di sekitarnya waduk ini adalah berada dalam kawasan suaka alam dan hutan konservasi (rancangan RTRW Kabupaten Kampar). Menurut undang-undang penataan ruang bahwa area hutan di sekitar waduk yang seharusnya menjadi kawasan perlindungan setempat dan dalam PP No. 28 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional bahwa kawasan sekitar danau ditetapkan berjarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danau atau waduk tertinggi.

Faktanya, kita bisa melihat pemandangan hijau yang asri dulu kini sudah berubah menjadi kawasan cokelat, di sana terlihat jelas bagaimana massive nya pembakaran, penggundulan hutan dan pengalihfungian lahan di sekitar waduk. Mirisnya adalah, walaupun terpasang garis polisi di area pembakaran, namun oknum-oknum tertentu masih melakukan aktivitasnya untuk merubah tutupan lahan yang seharusnya tidak boleh dirubah menjadi peruntukan lain, apapun itu.

Namun yang terjadi saat ini membuat penulis pribadi ngeri membayangkan skenario terburuk dari turunnya daya dukung waduk tersebut. Semoga saja tidak terjadi jika pemerintah dan seluruh unsur masyarakat sadar akan risiko tersebut. Pertanyaannya, mau menunggu sampai kapan hingga terjadi bencana yang lebih besar dan ekstrim?

Akan tetapi, di sisi lain, menurut saya, jika yang melakukan penghilangan hutan tersebut adalah masyarakat dengan klaim lahan itu adalah hak ulayat, maka peran pemerintah adalah mengayomi untuk memberikan perlakuan khusus kepada masyarakat yang mungkin dulunya tergusur sebagai dampak pembangunan waduk. Hal ini memang merupakan permasalahan kepemilikan lahan di manapun di Indonesia.

Rencana salah satu instansi pemerintah BPDAS misalnya dengan program agroforestry yang tetap melindungi vegetasi berkayu namun tetap dapat menopang kehidupan masyarakat adalah dengan memvariasikannya dengan tanaman lain yang dapat menghasilkan bagi penghidupan masyarakat.

Tetapi jika yang melakukan penghilangan hutan tersebut adalah oknum-oknum pengusaha bahkan pejabat yang hanya ingin menambah kekayaan, kasus ini harus benar-benar diselidiki oleh pemerintah dan kepolisian. Bukan hanya berdiam diri, mengadakan rapat kerja dan kunjungan ke sana ke mari tapi bertindak bagaimana kejadian atau tindakan hilangnya kawasan lindung tersebut berangsur-angsur hilang dan tidak terjadi lagi.

Kegiatan Penanggulangan bencana
Kita semua sangat menghargai usaha pemerintah dalam menangani bencana yang terjadi, seperti SKPD Badan Penganggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang mengerahkan seluruh tenaga dalam menyelematkan korban banjir yang terjadi sejak tanggal 17 Januari kemarin. Tindakan ini merupakan perwujudan perlindungan kepada masyarakat dalam mengemban tugas kemanusiaan.

Tindakan ini merupakan kegiatan represif, yaitu tindakan yang dilakukan setelah terjadinya bencana.
Dari sudut pandang lain, penanggulangan bencana tidak hanya berada pada tahap kedaruratan, rehabilitasi atau rekonstruksi semata yang dilakukan pada saat dan pasca bencana terjadi. Namun, hal yang terpenting yang selalu dilupakan adalah tindak pencegahan atau rencana mitigasi bencana (tindakan preventif).

Tindakan mitigasi ini dapat berupa mitigasi struktrual dan non struktural.,Nah, yang belum ada di daerah ini adalah mitigasi nonstruktural yang berwujud perencanaan tata guna lahan yang dituangkan dalam RTRW Provinsi dan Kabupaten. Sayangnya pedoman atau kitab suci perencanaan wilayah ini belum kunjung dirampungkan sehingga bermunculan masalah seperti bencana banjir.

Setelah mitigasi ini dilakukan, terdapat tahapan lainnya yaitu kesiapsiaagaan dalam mengurangi risiko bencana yaitu kesiapsiagaan. Pertanyaan selanjutnya, apakah masyarakat kita sudah siap dalam menghadapi banjir ini? Jalur evakuasi, tempat evakusi, penyelamatan pertama dan apa yang harus dilakukan lainnya benar-benar dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat? Cukupkah sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat? Mengingat alat sistem peringatan dini yang sampai saat ini belum difungsikan secara maksimal oleh pemerintah.

Terakhir, jika kita hanya ingin befokus kepada penanggulangan bencana banjir pada pasca kejadian, maka risiko yang harus diterima adalah kerugian yang diakibatkan oleh bencana yang seharusnya terlebih dahulu dapat dilakukan dengan cara mitigasi bencana, penetapan secara ketat kawasan lindung dan pemberlakuan hukum secara tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar aturan tersebut.

Apabila hal ini belum dilakukan maka kegiatan pembangunan yang sudah dirancang dan bertujuan memajukan daerah, malah mendatangkan kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh ketidakpedulian terhadap alam dan lingkungan yang seharusnya dijaga. Karena manusia diciptakan di bumi ini adalah sebagai pengelola bumi secara arif dan paham bagaimana jika alam diperlakukan dengan tidak semestinya.

Alam tidak membutuhkan manusia, tapi kita, manusia yang bergantung kepada alam.




0 komentar:

Posting Komentar