Setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk kehidupannya masing-masing. Tanggung jawab tersebut diwakili dengan jiwa kepemimpinan yang ada pada individu tersebut. Jiwa ini mengarahkan seseorang untuk hal yang baik atau buruk untuk dirinya sendiri. Namun, untuk skala yang lebih luas, jiwa kepemimpinan ini dapat terwujud dengan kepemilikan jabatan seseorang, mulai dari kepala desa, bupati bahkan presiden.
Beberapa minggu terakhir kita menyaksikan debat para calon di berbagai daerah yang akan menyelenggarakan PILKADA. Debat yang barangkali menjadi sorotan adalah debat cawagub provinsi DKI Jakarta. Terlepas dari semua permasalahan masing-masing calon, penulis tersentak ketika menyaksikan debat pertama yang hanya bertema pembangunan bidang ekonomi dan sosial. Hal ini yang sangat penulis sayangkan. Mengapa politik di Indonesia hanya melulu membahas tentang ekonomi.
Bukankah sebagai seorang pemimpin yang mempunyai target pembangunan dan sebagainya harus sudah memiliki pemahaman pembangunan yang berkelanjutan. Tiga pilar yang selalu didengungkan dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Akan tetapi, pada kenyataannya, pilar pembangunan hanya berfokus pada aspek ekonomi dan sosial saja. Aspek lingkungan selalu diabaikan karena dirasa tidak mendapatkan hasil atau keuntungan apa-apa.
Pilkada di Kabupaten Kampar
Tanggal 6 Februari lalu adalah hari jadi kabupaten yang dikenal dengan julukan Negeri Serambi Mekah. Berbagai acara dilakukan untuk memeriahkan acara tersebut. Hal yang paling menarik adalah adanya perhelatan hari jadi di Sungai Kampar. Sungai yang menurut penulis menjadi ikon Kabupaten Kampar ini selalu menjadi tumpuan kegiatan atau acara di wilayah tersebut.
Namun, ada sesuatu yang belum sinkron antara kegiatan pemerintah dengan kenyataan yang ada. Penulis ingin mengajak untuk mereview kembali banjir yang terjadi di awal tahun 2015 lalu. Banjir tersebut terjadi dari Bulan Januari hingga Februari. Banjir ini dinyatakan sebagai banjir ini adalah banjir yang terbesar yang terjadi selama kurun waktu 30 tahun. Alhasil, tindakan yang dapat dilakukan adalah semacam tindakan kuratif seperti pendirian tenda, pemberian bantuan, dan kegiatan tanggap darurat lainnya. Tentunya, jika kita masih mengingat bencana setahun silam tersebut mengakibatkan kerugian daerah sebesar Rp 50 M.
Apakah pemerintahan daerah kita tidak dapat mengambil pelajaran dari peristiwa ini? Apakah harus terus mengalami bencana dulu baru sadar bahwa apa yang sudah dilakukan sangat berdampak merugikan bahkan membahayakan bagi kehidupan masyarakat? Mari sadar lingkungan bahwa DAS Kampar termasuk ke dalam DAS yang kritis. Kawasan perlindungan setempat dan kawasan hutan lindung sudah dirubah menjadi kawasan perkebunan sawit. Mirisnya, kawasan ini berada di sekitar waduk PLTA Kota Panjang.
Akhir tahun 2017 kemarin, PLTA Kota Panjang sempat berhenti beroperasi karena dangkalnya waduk akibat sedimentasi. Lalu, dampaknya apa? Tak lain tak bukan pemadaman listrik yang sepertinya merupakan permasalahan yang tak kunjung berakhir. Dampak tak tampak (intangible impact) yang harus menjadi penglihatan jeli seorang pemimpin adalah dampak bagi para pelajar atau siswa yang ada di Kabupaten Kampar. Jika listrik mati, pada malam hari, apakah mereka belajar dengan efektif (pengecualian keluarga yang mampu)? Waktu di malam hari yang seharusnya digunakan untuk belajar atau membuat pekerjaan rumah tidak jadi digunakan lantaran tidak ada penerangan. Akibatnya, adalah kemunduran kualitas belajar mereka dan akhirnya sumber daya manusia di daerah menjadi semakin ketinggalan.
Yang paling penting adalah untuk masalah lingkungan. Penulis memiliki analogi seperti berikut. Jika pemerintah berinvestasi dengan membabat habis hutan yang ada di daerah lindung misalkan di sekitar waduk PLTA Kota Panjang. Lalu pemerintah membuka izin untuk membuka secara besar-besaran lahan sawit di sana (taksiran Rp 10 M). Baik, semua sudah mengetahui bahwasanya penghilangan hutan di sekitar daerah aliran sungai (kawasan lindung) maka pasti banjir akan terjadi di daerah tengah atau hilir sungai. Maka akhirnya terjadi banjir, dengan total kerugian Rp 100 M. Sungguh, ini merupakan akibat perencanaan dan tindakan yang tidak berbasis mitigasi bencana. Pembangunan yang sudah dicanangkan akan berhasil ternyata dialokasikan untuk penanggulangan bencana yang sekali lagi tidak bersifat preventif.
Sebentar lagi, perhelatan besar akan diadakan di berbagai daerah. Semoga siapapun nanti calon kepala daerah yang terpilih peka terhadap permasalahan lingkungan yang ada di wilayah kekuasaannya sendiri. Karena jika seorang pemimpin yang sadar lingkungan, dia pasti mengerti sebuah negeri pasti berada dalam suatu sistem DAS. Sebuah sistem yang tidak mengenal batas administrasi sehingga diperlukan koordinasi antar wilayah lintas kabupaten bahkan provinsi. Jika aspek ekonomi dan sosial lebih diutamakan, lalu apakah tempat tinggal kita tidak ikut diiperhitungkan?
Bagi para pemilik suara, penulis hanya ingin menyampaikan bahwa pilihlah pemimpin yang tahu apa yang harus dia perbuat untuk memperbaiki lingkungan, bukan merusak lingkungan. Lihatlah kinerja yang menyelamatkan lingkungan bukan malah merusak alam. Penulis berharap, anak muda, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat cerdas dalam memilih pemimpin untuk negerinya sendiri dan jangan asal pilih. “Karena Pemimpin Bukan Hanya Memimpin Manusia, Melainkan Semua Unsur yang Ada di Lingkungan Daerah yang Dia Pimpin”.
0 komentar:
Posting Komentar