Rabu, 07 Desember 2016

Bermula Dari...

 

Undangan Mereka

 

Kertas tebal dengan ukuran 10 x 10 cm berwarna keemasan dengan foto pre-wedding elegan tergeletak begitu saja di atas meja kerjaku. Hiasan bunga dan pita kuning ikut mempercantik desgin undangan yang bisa kutaksir harganya sekitar 15 ribu per eksemplar. Aku tau, yang mengundang bukan orang biasa, jadi penampakan undangan sudah dapat dinilai apakah mempelai dari kelas menengah ke atas atau bukan. Aku sendiri tidak tau apakah akan dibaca atau tidak sampai ke dalam isi undangan itu. Toh, dari foto sudah terlihat pernikahan siapa, ditambah dengan melihat tulisan bagian depan mungkin sudah cukup, -tertulis- The Wedding Suci dan Petra, Kota Dahlia, 12 Juli 2016, untuk Aurora dan pasangan, -as always.

‘Hhhhhhh..........’, aku melenguh panjang.

Kenapa harus ada embel-embel “& pasangan” setelah nama seseorang yang jelas-jelas belum menikah? Apakah itu sejenis motivasi agar si penerima undangan segera menikah? Atau apakah itu cuma tradisi di kota kecilku yang kalau si penerima undangan belum berkeluarga tinggal dicantumkan saja ‘the partner’ yang keberadaannya masih belum tau rimbanya? Begitulah pemikiran sarkastik dan negative thinkingku melihat semua hal yang terjadi dalam hidup. Am I alone? -aku harap tidak semua pembaca-.

Tentu, bagi seorang yang belum pernah mengirimkan kabar pernikahan bukan hal yang begitu menggiurkan bagiku. Berbeda sekali pada saat masih kanak-kanak yang begitu girang mendapatkan undangan pernikahan walaupun sebenarnya ditujukan untuk ayah dan ibuku. Tertulis jelas untuk ‘Hasan dan keluarga’. Jelas kan? karena memang sudah berkeluarga dan itu sangat tepat menurutku.

Jika sudah mendapat undangan pernikahan di masa kecil itu, artinya, akhir pekan kita sekeluarga akan makan besar di pesta pernikahan orang lain kan? begitu menggelitik tapi ada kesenangan tersendiri kala itu. Kalian juga pasti pernah merasakannya. Wah ini, siapa yang mau ada pesta pernikahan? Asik… kita bisa pergi bersama-sama dengan outfit yang semarak atau bahkan seragaman, layaknya keluarga yang lain, seperti fashion show saja.

Lalu, momen yang ditunggu-tunggu adalah menikmati setiap hidangan yang disajikan layaknya pesta seribu satu malam itu. Jika si tuan rumah adalah orang yang cukup berada maka antusias kami akan semakin tinggi. Aku dengan ibuku akan sama-sama menebak, akan ada apa saja ya nanti hidangannya? Sate, soto, es buah, kue jala, paniagham[1], buah, atau ada es tebak? Seperti itulah tebak-tebakan antara aku dengan ibuku yang memang sangat suka sekali menyantap makanan, lebih tepatnya sering merasa lapar. Nah, sebagai triknya, kami yang akan berangkat jangan makan apapun dari rumah. Nanti saja, dipuas-puasin saat makan di acara pesta di rumah orang yang dianggap akan loyal di hari pernikahan anaknya. Namun, jika yang punya hajat adalah orang biasa saja, ya... semangat memenuhi undangannya akan biasa-biasa saja. Suatu tendensius yang tidak patut tentu saja.

Begitulah kira-kira ilustrasi motivasi orang-orang di kampungku jika ada yang menggelar acara pernikahan. Bukan salaman dahulu dengan mempelai pengantin dan keluarga tapi langsung ke berkeliling di seantero meja hidangan. Sedikit bar-bar bukan? Prinsipnya, nikah itu cuma sekali, mbok ya sekalian kita pol-polan kan? Royal sedikit lah. Andai bisa menggunakan emoticon di kisahku ini, pasti sudah sangat ramai sekali dengan kepala-kepala botak berwarna kuning.

Lupakan soal pesta dengan custom pada era 90-an tadi. Ini tentang undangan keemasan dari teman yang tak pernah kusangka, tertulis nama Suci dan Petra. Mereka teman kampusku dulu. Kenapa mereka menikah? Kenapa Petra akhirnya tidak bersama Inggrit? Bukankah dulu mereka pernah ada kisah dan pernah kucomblangin? Ternyata tidak berhasilkah? Ya Tuhan, apa kuasaku mengatakan seperti itu? Maafkan aku.

Hanya karena undangan pernikahan kedua temanku itu, sepintas ada muncul kenangan-kenangan masa laluku saat kuliah dulu, di Kota Lily. Sejenak terputar kembali kenangan dan perasaannya yang dulu pernah ada. Perasaan yang sama sekali terus kukubur secara perlahan sejak tujuh tahun terakhir. Tujuh tahun? Mengapa begitu sulit?



[1]paniagham; sejenis makanan tradisional yang terbuat dari tepung ketan dicampur dengan parutan kelapa

0 komentar:

Posting Komentar