Tri Annisa Fajri
(Sudah dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jawa Barat, Edisi 19 Januari 2017)
(Sudah dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jawa Barat, Edisi 19 Januari 2017)
Wilayah
di Indonesia terbagi atas satuan wilayah sungai yang biasa disebut dengan
Daerah Aliran Sungai (DAS). Wilayah geografis tersebut menjadikan wilayah
administratif terpisah berdasarkan satuan DAS. Bentang alam DAS memiliki
kekayaan sumber daya air yang dimanfaatkan oleh semua pihak. Berkaitan dengan
salah satu sumber daya air, penulis tertarik mengulas mengenai perbedaan antara
kondisi sumber daya air dan dampaknya terhadap kehidupan masyakarat di dua
wilayah yang berbeda, DAS Citarum & DAS Kampar di Provinsi Riau (banjir).
Berdasarkan
historisnya, banjir besar Citarum tercatat pertama kalinya terjadi pada tahun
1931 (BBWS-Citarum), 1986, hingga 2016. Sedangkan banjir besar di Kampar diketahui
terjadi pada tahun 1978 sehingga di tahun 1996, dibangun waduk (PLTA Kota
Panjang) dengan tujuan mengurangi banjir sekaligus untuk memenuhi kebutuhan
listrik di daerah Riau dan sekitarnya. Akan tetapi, celakanya, pada awal tahun
2015 lalu, banjir besar terjadi lagi di sepanjang aliran Sungai Kampar.
Pola Hidup Masyarakat
Jika
dilihat dari penyebab banjir, akar penyebab banjir di DAS Citarum hampir sama
dengan di DAS Kampar. Hulu DAS Citarum sebagian besar sudah dialihfungsikan
menjadi lahan perkebunan oleh masyarakat setempat, seperti tanaman holtikultura
dan tanaman semusim lainnya. Begitu juga halnya dengan kawasan hutan lindung di
hulu DAS Kampar dan di sekitar waduk PLTA Kota Panjang, telah digantikan oleh
perkebunan sawit. Lahan yang dulunya ditopang oleh hutan sudah berubah menjadi
tanaman yang tidak memiliki kapasitas untuk menyerap dan menyimpan air. Tindakan
para eksploitaser
yang tidak memperhitungkan fungsi kawasan hulu DAS. Mereka sama sekali tidak
‘menghormati’ keberadaan waduk PLTA Kota Panjang. Waduk yang telah mengamankan
kehidupan masyarakat Kampar selama 20 tahun.
Selanjutnya,
pola hidup masyarakat Bandung Selatan yang penulis amati yang pertama adalah dari
cara mendirikan rumah. Saat berjalan menyusuri wilayah Sungai Citarum dan anak
sungai lainnya, terlihat permukiman yang berada di sepanjang pinggiran sungai
didirikan membelakangi sungai. Kedua, kebiasaan membuang sampah ke sungai yang
dipermudah dengan adanya saluran pembuangan limbah rumah tangga yang dialirkan
ke badan sungai. Sedangkan jika dilihat di dalam pola kehidupan masyarakat
Kampar atau Riau secara umum, sampah yang ada di lingkungan rumah akan dibakar
di halaman rumah yang biasa disebut dengan istilah mowun saghok yaitu membakar sampah. Selain itu, di sepanjang sungai
Kampar penulis belum melihat rumah yang dibangun membelakangi sungai. Tapi
kesimpulannya, banjir tetap terjadi di kedua wilayah ini yang disebabkan oleh
penghilangan kawasan lindung.
Kesenjangan itu!
Disadari
bahwa tingkat kesiapsiagaan dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana
berbeda-beda. Dua wilayah yang dibahas dalam tulisan ini memiliki kesiapsiagaan
yang berbeda.
Warga
yang tinggal di kawasan Bandung Selatan memiliki sumber daya manusia dan
komunitas yang dapat menghubungkan mereka satu dengan yang lainnya. Penduduk di
Bandung Selatan sudah terbiasa dengan banjir bahkan sudah menjadi gaya hidup mereka.
Kesiapsiagaan masyarakat sudah terbentuk dengan cara meninggikan perabotan dan
barang elektronik di rumah mereka masing-masing. Selain itu, terdapat beberapa
rumah yang pondasinya telah ditinggikan dan penambahan jumlah lantai rumah.
Penduduk
di Bandung Selatan sepenuhnya sadar bahwa hujan yang terjadi di hulu Citarum
dan di Kota Bandung berpotensi mendatangkan banjir di tempat mereka. Berkat
adanya komunitas ‘warga siaga’ yang selalu memberikan peringatan melalui media
sosial. Oleh karena itu, komunitas tersebut berfungsi sebagai flood early warning system dan meningkatkan kapasitas masyarakat sekitar.
Ditambah lagi di dalam komunitas medsos tersebut terdapat berbagai pihak dari
berbagai profesi dan kelimuan beragam yang membantu mendiseminasikan informasi
(cuaca dan lain-lain).
Bandingkan
dengan kesiapsiagaan masyarakat di DAS Kampar. Sejak banjir di tahun 1978,
mereka belum mengalami banjir seluas yang terjadi di awal tahun 2015.
Akibatnya, antipasti kehilangan harta dan nyawa belum dilakukan sepenuhnya. Hal
yang sangat disayangkan adalah, di beberapa kecamatan terdapat sirine untuk
peringatan dini banjir yang didirikan oleh PLN dan PLTA Kota Panjang. Agaknya dengan
alasan tidak ingin membuat panik masyarakat sirine tersebut tidak difungsikan
atau memang tidak ada maintenance
dari pihak terkait. Jadi, sistem peringatan dini di sini jauh dari kata optimal.
Lalu Harus Bagaimana?
Berbagai
tindakan struktural telah dilakukan pemerintah seperti pengerukan sungai dan
normalisasi. Namun, tindakan tersebut seperti tidak memberikan pengurangan apa
pun terhadap risiko banjir Bandung Selatan. Miliyaran dana dihabiskan dalam rangka
upaya pengurangan banjir. Bahkan, sangat banyak event-event skala nasional yang mengusung tema ‘Citarum Bebas Banjir’
dan sebagainya, namun harapan masyarakat Bandung Selatan sepertinya belum
terjawab.
Mari
melihat ke DAS yang lain yang belum banyak disoroti di pulau lain di Indonesia.
Kejadian banjir yang terjadi di setiap musim hujan menjadi teror bagi penduduk
yang tinggal di sekitar sungai. Alih fungsi dan pelanggaran penggunaan lahan
tidak menjadi fokus utama bagi pemerintah. Tindakan favorit adalah aksi tanggap
darurat saat bencana terjadi dan ‘cuek’ dengan bagaimana cara supaya kejadian
yang sama tidak terulang kembali.
Jadi,
sebagai penutup, apakah banjir di DAS Kampar dan DAS-DAS lainya menunggu
separah dan sesering di DAS Citarum? Apakah menunggu hebohnya pemberitaan di
media massa kemudian baru bergerak untuk tindakan darurat? Selanjutnya, apakah hanya
masyarakat terdampak yang selalu didorong untuk siap siaga, lebih sadar akan
ancaman bencana tanpa menindaklanjuti sumber dari bencana tersebut?
Jelas
terlihat bahwa kesadaran masyarakat akan muncul ketika mereka sudah sangat lama
menderita akibat bencana dan bagi yang tidak aware hanya menunggu nasib saja. Banjir yang menerjang Kabupaten
Garut dan diikuti oleh Kota Bandung kemarin barulah menjadi topik pembicaraan
hangat di mana-mana. Tindakan penyusutan oleh polisi untuk menemukan pelaku
perusak hutan DAS Cimanuk pun menjadi sorotan. Apakah hal itu akan benar-benar
dilakukan? Bagaimana dengan DAS Kampar dan DAS di daerah lainnya? Banjir di
Bima, di Aceh, dan daerah lainnya? Barangkali sudah bisa dijawab.