Kuok Sub-District

Tanah, Udara, Air Kelahiranku

Air Terjun Panisan

Ngalai, XIII Koto Kampar

Waduk PLTA Kota Panjang

Sumber Listrik, Mitigasi banjir, Perikanan, Pariwisata

Sunset Pangandaran

Mimpi untuk 'Aurora' Masih Akan Tetap Ada

Senin, 15 Februari 2021

Jalan Mana yang Kamu Suka?

Berjualan online memang bukan hal yang baru lagi dalam dunia digital saat ini. Termasuk saya yang bisa dikatakan penggemar dunia skincare -no make up-. Sudah sangat sering saya bergonta-ganti produk untuk menemukan yang cocok dan pas untuk permasalahan kulit saya. Once tidak ada reaksi negatif di kulit saya, maka akan terus saya gunakan sampe habis bahkan akan repurchase kembali. Semua produk bisa ditemukan di e-commerce mana pun sesuai preference.


Nah, beberapa bulan lalu saya mencoba produk suncream dari Korea yang claimnya melembabkan dan dominan dengan kandungan buah-buahan. Namely, 'frudia'. Tapi, sayang sekali, saya sangat berekspektasi bahwa ini akan sangat cocok karena ingridientnya OK semua. Saya tidak meninjau lebih jauh lagi sih ya, kandungan mana yang membuat saya menjadi jerawatan hingga saya stop untuk memakai produk tersebut. Sehubungan dengan jualan online tersebut, setiap barang yang tidak cocok, saya akan mengiklankan barang tersebut di akun online shop saya, 'carousel' dan juga 'shopee'. Bersyukur setelah beberapa bulan, suncream yang 'tidak cocok' tadi ada yang check out di akun shopee saya. Surprisingly, pengiriman tertuju ke Bangkalan Madura dan ekspedisi yang dipilih adalah pos Indonesia. Wah, ini menantang sekali karena selama berjualan online saya tidak pernah berkirim menggunakan salah satu perusahaan jasa BUMN tersebut.

Setelah bertanya ke customer service shopee, kode atau pun barcode akan didapatkan jika barang/paket diantar ke kantor pos secara langsung. Alamak! buyer tadi purchase pukul setengah 4 sore. Apa ada kantor pos yang masih buka? apalagi hari itu adalah hari Sabtu. Tanpa pikir panjang, saya langsung pack produknya, sholat Ashar, dan langsung gowes ke kantor pos terdekat dengan kos saya. Agak sanksi kalau kantor di Jalan Cijagra masih buka, dan ternyata benar, sudah tutup. Setelah gugling ternyata ada kantor pos di Jalan Turangga Maskumambang buka hingga pukul 8 malam, walau agak jauh. Menimbang-nimbang jika besok saya antar ke kantor pos bisa jadi hari Minggu tidak ada yang buka, akhirnya saya tekadkan niat untuk langsung meluncur ke Turangga sesuai petunjuk google.

Luar biasa! bersepeda sore hari di Bandung itu sangat membahagiakan wahai pembaca yang budiman. Angin sejuk akan membelai wajah mu dengan syahdu dan mendamaikan hatimu yang bisa saja sedang lirih. HAHA. Rasa syukur langsung terucap 'dalam' saat berusaha menemukan alamat kantor pos yang ternyata bukan di Jalan Turangga, teman-teman. Tapi di Jalan Taurus 😂 dan sudah berada di area kompleks yang sudah pasti sangat membingungkan bagi yang belum pernah menempuh area tersebut.

Persis sebelum jam 5 sore, saya sudah sampai di depan pos Turangga, eh Taurus tersebut. IT IS CLOSED dud! 👀 Wah... tertawa bercampur kesal dengan perjalanan yang sudah saya tempuh setengah jam yang lalu. Muter-muter dan bingung sendiri. Gak apa-apa, pulang saja, dan saya berniat saja sepedaan sore itu sebagai ganti olahraga lari saya seperti biasa. Karena Jalan Turangga langsung menuju ke area TSM (Mall megah Bandung), saya akhirnya menuju jalan Gatot Subroto dan langsung pulang melewati jalan Ibrahim Ajie alias area Kiaracondong. 

Saya, kalo bersepeda tidak akan melewatkan nama-nama toko atau papan iklan yang ada di jalan-jalan. Suatu keseruan tersendiri ketika mengetahui, oh ini toko Abud, oh ini tempat salon kece, oh ini tempat makan endeus... hal itu yang menjadikan perjalanan itu menyenangkan bagi saya pribadi, -ga tau kalo Mas Anang. 

Sudah hampir pukul setengah 6 sore, saya akhirnya melihat ada plang orange yang bisa jadi ada kantor pos di depan sana. Dan benar sekali, Kantor Pos di Jalan Ibrahim Ajie buka hingga jam 8 malam. HAHA. Bersyukur sekali, 
tak disangka-sangka, tak pernah direncanakan, dan tidak diduga sama sekali, solusi atas keinginan ada di depan mata. 😇👏


Tujuan saya menulis cerita perjalanan ini adalah hanya ingin membahasakan bahwa:
👐 Tidak apa-apa, tidak mengapa, its really OK to have a or many plans in your life. Kamu cuma cukup berusaha "sehabis-habisnya" hingga kamu tersadar bahwa tujuan yang tadinya menjadi targetmu bukan menjadi hal baik untuk hidupmu. Ikhlaskan dan perbarui rencana besar yang lain.
👐 Di saat kamu tahu waktunya untuk berhenti mengejar tujuanmu, maka yakinlah, di saat itu juga Our Creator telah menggantikan yang jauh lebih baik untukmu. Hanya jangan dibawa perasaan kenapa tidak dengan harapan yang kamu inginkan. Bisa jadi itu bukan yang terbaik untukmu. We will never know.
👐
Pada akhirnya, di saat kamu sudah berpasrah diri setelah berusaha, yang terbaik akan datang dengan sendirinya. Kemungkinan, begitulah semesta bekerja. Jadi, lepaskan impian atau seseorang yang ingin kamu jadikan sebagai jalan hidup atau pasangan, kelak akan ada yang datang dengan keikhlasan hati dan keterbukaan yang tiada pernah kamu duga.

ITU!
*mon maap, poin terakhir memang itu intinya, semacam analogi yang dipaksakan bukan? Wdyt?
.

Anw, tak dapat disangkal, banyak pelajaran hidup yang saya dapat dalam perjalanan, perjalanan dunia mimpi maupun dunia nyata ✌ perlu diingat, sering2 baca, apalagi baca papan iklan atau nama toko di jalan, HAHAHA

Selasa, 29 Mei 2018

Kesadaran untuk Kembali Harum


Wilayah di Indonesia terbagi atas satuan wilayah sungai yang biasa disebut dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Bentang alam DAS memiliki kekayaan sumber daya air dan lahan yang dimanfaatkan oleh semua pihak, lintas sektor dan lintas wilayah administratif. Berkaitan dengan salah satu sumber daya air, penulis tertarik mengulas di awal tulisan mengenai sejarah banjir di DAS Citarum & DAS Kampar di Provinsi Riau. Kemudian mengenai perbedaan antara kondisi sumber daya air dan pemanfaatan lahan di dua wilayah tersebut. Lalu diakhiri dengan solusi potensi pelestarian yang dapat dilakukan untuk mengharumkan kembali Sungai Citarum.

Berdasarkan historis yang tercatat, banjir besar Citarum pertama kalinya terjadi pada tahun 1931 (BBWS-Citarum). Kemudian kembali terjadi dengan skala banjir yang lebih besar tahun 1986. Adapun banjir skala kecil juga sering terjadi di setiap tahunnya hingga tahun 2017. DAS Citarum dengan topografi yang tajam sedangkan DAS Kampar dengan keadaan wilayah yang relatif datar. Sedangkan banjir besar di kawasan DAS Kampar yang tercatat terjadi pada tahun 1978. Akibatnya pada tahun 1996, pemerintah merealisasikan pembangunan waduk (PLTA Kota Panjang) dengan tujuan mengurangi banjir. Selain tujuan mitigasi banjir, waduk tersebut dibangun sekaligus untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah Riau dan sekitarnya. Akan tetapi, pada awal tahun 2015 lalu, banjir besar terjadi lagi di sepanjang aliran Sungai Kampar. Hal lain yang menarik adalah kawasan hulu DAS Kampar ini berada di kabupaten di provinsi Sumatera Barat yang bersebelahan langsung dengan Kabupaten Kampar. Fakta ini mengindikasikan keterlibatan antar wilayah provinsi dan bukan hanya lintas sektor.

Jika dilihat dari penyebab banjir, akar penyebab banjir di DAS Citarum hampir sama dengan di DAS Kampar. Hulu DAS Citarum sebagian besar sudah dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan oleh masyarakat setempat, seperti tanaman holtikultura dan tanaman semusim lainnya. Begitu juga halnya dengan kawasan hutan lindung di hulu DAS Kampar dan di sekitar waduk PLTA Kota Panjang, telah digantikan oleh ladang sawit. Lahan yang dulunya ditopang oleh hutan lindung sudah berubah menjadi tanaman yang tidak memiliki kapasitas untuk menyerap dan menyimpan air. Kawasan yang seharusnya diatur dalam rencana tata ruang menjadi kawasan perlindungan kawasan bawahannya sudah dihilangkan fungsinya. Penyebabnya adalah tindakan para eksploitaser yang tidak memperhitungkan fungsi kawasan lindung dan penyangga waduk tersebut. Pihak-pihak tersebut seakan tidak ‘menghormati’ keberadaan waduk PLTA Kota Panjang yang telah mengamankan kehidupan masyarakat Kampar selama kurun waktu lebih dari 20 tahun.

Pola Hidup Masyarakat
Mengenai pola hidup masyarakat, penulis mencoba untuk memaparkan beberapa kondisi yang diamati di Kawasan Bandung Selatan. Wilayah yang mewakili DAS Citarum bagian hulu dan yang paling sering mengalami banjir Citarum serta merupakan kajian tesis penulis saat menyelesaikan studi di Kota Bandung. Pola hidup masyarakat Bandung Selatan yang penulis amati yang pertama adalah dari cara mendirikan rumah. Saat berjalan menyusuri wilayah Sungai Citarum dan anak sungai lainnya, sebagian besar rumah penduduk yang berada di sepanjang pinggiran sungai didirikan membelakangi sungai. Padahal aturan yang semestinya adalah tidak membelakangi sungai. Kedua, kebiasaan membuang sampah ke sungai memang sudah menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat. Hal ini dipermudah dengan adanya saluran pembuangan limbah rumah tangga yang dialirkan ke badan Sungai Citarum (Gambar 1).

Gambar 1. Saluran Pembuangan Limbah Rumah Tangga di Dayaeukolot
(Dokementasi pribadi, 2016)

Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa kebiasaan dan struktur permukiman yang memudahkan pembuangan sampah di kawasan Sungai Citarum. Dampaknya adalah banjir yang selalu terjadi tiap tahunnya. Tentu hal ini bukan faktor utama penyebab banjir di kawasan Bandung Selatan ini, melainkan juga adanya pengaruh tutupan lahan yang sudah berubah di kawasan hulu yaitu menjadi kawasan holtikultura.

Sedangkan jika dilihat di dalam pola kehidupan masyarakat Kampar atau Riau secara umum, cara mendirikan rumah adalah tidak membelakangi sungai, akan tetapi menghadap ke badan sungai. Seperti pada gambar 2 juga terlihat bahwa adanya jarak antara permukiman dengan badan sungai yang biasa disebut dengan sempadan sungai. Kemudian, budaya di daerah ini adalah kebiasaan membakar sampah yang ada di sekitar rumah penduduk. Sampah yang ada di lingkungan rumah akan dibakar di halaman rumah yang biasa disebut dengan istilah mowun saghok (merun). Jadi, tidak menjadi hal lumrah jika sampah di sekitar rumah dibuang ke sungai. Kesimpulannya dari penjelasan perbedaan di atas adalah banjir yang kerap terjadi di kedua wilayah ini disebabkan oleh penghilangan kawasan lindung. Citarum dengan holtikuluranya dan Kampar dengan sawitnya.


Gambar 2 Struktur Permukiman di Sungai di Riau
(dokumentasi pribadi, 2018)


Solusi dan Potensi Masyarakat
Berbagai tindakan struktural telah dilakukan pemerintah seperti pengerukan sungai dan normalisasi. Namun, tindakan tersebut seperti tidak memberikan pengurangan apa pun terhadap risiko banjir Bandung Selatan. Miliyaran dana dihabiskan dalam rangka upaya pengurangan banjir. Bahkan, sangat banyak event-event skala nasional yang mengusung tema ‘Citarum Bebas Banjir’ dan sebagainya, namun harapan masyarakat Bandung Selatan sepertinya belum terjawab.

Namun, ada baiknya semua elemen masyarakat sama-sama merubah keadaan saat ini menjadi lebih baik. Dimulai dari hal yang kecil dan merubah kebiasaan yang merugikan keadaan sekitar. Menurut penulis, pola rumah penduduk yang membelakangi sungai dapat dirubah sedemikian rupa. Saluran pembuangan limbah yang memang sengaja diposisikan mengalir ke badan sungai dapat dihilangkan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah penutupan saluran limbah tersebut dan menggantinya dengan sarana pembuangan limbah. Penyediaan sarana ini menjadi tanggung jawab dari dinas atau kementrian terkait yaitu pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Akan tetapi, bagiamanakah tindakan penyadaran kepada masyarakat?

Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan sosialiasi di sekolah tingkat dasar hingga menengah di semua kecamatan yang dialiri Sungai Citarum dan anak sungainya. Fokus dalam sosialisasi ini adalah memberikan gambaran terburuk dari pembuangan limbah ke badan sungai. Dengan demikian, siswa yang mendapatkan paparan mengenai dampak pembuangan limbah rumah tangga ke sungai menjadi paham dan aware terhadap bahaya yang dapat mengancam kesehatan mereka dan keluarganya. Selanjutnya di tingkat keluarga yaitu ibu rumah tangga beserta kepala keluarga, adalah dengan penyuluhan di setiap RT dan RW. Penyuluhan tersebut menjelaskan kepada warga untuk tidak lagi membuah sampah dan limbah rumah tangga ke sungai sekaligus diberikan sarana kebersihan di masing-masing rumah. Sarana tersebut dapat berupa IPAL komunal, penyediaan alat angkut dan penyedot tinja, penyediaan air baku, dan instalasi air dan lainnya sehingga tidak akan ada lagi yang membuang limbah ke sungai. Diharapkan metode persuasif sekaligus penyediaan sarana ini dapat mengubah pola pikir dan pola hidup penduduk setempat.

Kemudian jika melirik ke bagian hulu Sungai Citarum yang sudah menjadi kebun masyarakat, dapat dilakukan dengan beberapa pemberdayaan yang mengarah ke keberlanjutan ekonomi masyarakat. Contohnya adalah merubah tanaman holtikultura tersebut menjadi tanaman berkayu. Dalam hal ini tanaman tersebut dapat menyerap air dan juga menyimpan cadangan air karena perakarannya. Pengetahuan yang sering kita dapatkan adalah jika musim hujan terjadi, maka yang menjadi penahan air di wilayah hulu adalah tanaman berkayu. Dampaknya adalah aliran air permukaan tidak terlalu besar dibandingkan jika tidak ada pohon sama sekali. Nah, begitu juga sebaliknya, jika pada saat musim kemarau wilayah tersebut tidak akan mengalami kekeringan.

Berdasarkan sifat alam di atas, upaya yang dapat mengalihkan kegiatan perkebunan holtikultura penduduk adalah dengan mengganti jenis tanaman dengan tanaman kopi dan kaliandra. Tanaman kopi merupakan tumbuhan berkayu yang diharapkan dapat menjaga kestabilan air dan tanah di wilayah hulu, dapat juga menjadi potensi yang besar bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan menjamurnya bisnis cafe yang menjadi primadona oleh semua kalangan, khususnya para anak muda Bandung. Salah satunya adalah jenis kopi Sundanika yang dapat menjadi pilihan untuk dibudidayakan di kawasan hulu Citarum. Pemain inti dalam hal ini adalah petani kopi dan pengelola cafe di kawasan Bandung Raya. Pemilik cafe mendapatkan suplai kopi dari petani secara langsung, sehingga kualitas dan harga dapat diatur sedemikian rupa oleh kedua belah pihak. Jadi, ada keberlangsungan suplai bagi pemilik usaha dan keberlanjutan tanaman kopi bagi petani lokal.

Selanjutnya tanaman kaliandra yang juga dapat tumbuh di kawasan hulu Citarum. Banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari tanaman yang satu ini. Diantaranya adalah dari daunnya yang dapat dijadikan pakan ternak. Seperti yang diketahui bahwa di beberapa tempat di kawasan hulu Citarum sangat banyak peternakan yang dikelola masyarakat. Dari daun tumbuhan ini dapat dijadikan pakan bagi ternak mereka. Selain itu, tanaman kaliandra juga dapat dijadikan sebagai sumber biofuel yang memiliki potensi yang sangat besar. Jika peluang ini segera dikembangkan, maka hasilnya kelestarian wilayah hulu kembali asri dan penduduk mendapatkan keuntungan dari hasil alamnya.

Dengan keanekaragaman tanaman yang dapat dikembangkan di wilayah hulu Citarum yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat memulihkan kehidupan masyarakat setempat yang tidak serta merta dilarang dari kegiatan perkebunan holtikultura. Masih sangat banyak potensi alam dan tanaman budidaya yang dapat dikembangkan di kawasan Citarum. Tujuan pengharuman citarum bukan hanya membatasi aktivitas penduduk melainkan mengembangan potensi usaha di masa mendatang dengan tidak mengorbankan kelestarian alam sekitar.

Akhirnya, bukan hanya tindakan struktural yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menciptakan Citarum Harum. Melainkan juga tindakan non struktural yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat setempat. Biaya yang dihabiskan untuk normalisasi sungai memang sangat besar. Tetapi untuk memberdayakan dan berada di tengah-tengah masyarakat jauh lebih efektif dan efisien.
Bencana yang terjadi adalah bukan hanya ditanggapi pada saat dan setelah bencana itu terjadi, melainkan bagaimana upaya-upaya pencegahan dilakukan sedini mungkin. Yang terdampak bencana dan buruknya lingkungan adalah masyarakat, sehingga yang lebih dulu diberikan perhatian dan preventive action adalah masyarakat. Terkadang, manusia berupaya sekuat tenaga untuk menghadapi bencana namun lupa bagaimana untuk mencegah agar tidak terjadi bencana. Semoga sungai-sungai lain di Indonesia tidak sampai menyamai keadaan terburuk Sungai Citarum dan semua pihak berharap Citarum kembali harum. Aamiin.

Senin, 20 Februari 2017

KESENJANGAN KESADARAN BENCANA DI INDONESIA (Studi Kasus Jawa Barat dan Riau)


 Tri Annisa Fajri
(Sudah dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jawa Barat, Edisi 19 Januari 2017)
Wilayah di Indonesia terbagi atas satuan wilayah sungai yang biasa disebut dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Wilayah geografis tersebut menjadikan wilayah administratif terpisah berdasarkan satuan DAS. Bentang alam DAS memiliki kekayaan sumber daya air yang dimanfaatkan oleh semua pihak. Berkaitan dengan salah satu sumber daya air, penulis tertarik mengulas mengenai perbedaan antara kondisi sumber daya air dan dampaknya terhadap kehidupan masyakarat di dua wilayah yang berbeda, DAS Citarum & DAS Kampar di Provinsi Riau (banjir).

Berdasarkan historisnya, banjir besar Citarum tercatat pertama kalinya terjadi pada tahun 1931 (BBWS-Citarum), 1986, hingga 2016. Sedangkan banjir besar di Kampar diketahui terjadi pada tahun 1978 sehingga di tahun 1996, dibangun waduk (PLTA Kota Panjang) dengan tujuan mengurangi banjir sekaligus untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah Riau dan sekitarnya. Akan tetapi, celakanya, pada awal tahun 2015 lalu, banjir besar terjadi lagi di sepanjang aliran Sungai Kampar.

Pola Hidup Masyarakat
Jika dilihat dari penyebab banjir, akar penyebab banjir di DAS Citarum hampir sama dengan di DAS Kampar. Hulu DAS Citarum sebagian besar sudah dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan oleh masyarakat setempat, seperti tanaman holtikultura dan tanaman semusim lainnya. Begitu juga halnya dengan kawasan hutan lindung di hulu DAS Kampar dan di sekitar waduk PLTA Kota Panjang, telah digantikan oleh perkebunan sawit. Lahan yang dulunya ditopang oleh hutan sudah berubah menjadi tanaman yang tidak memiliki kapasitas untuk menyerap dan menyimpan air. Tindakan para eksploitaser yang tidak memperhitungkan fungsi kawasan hulu DAS. Mereka sama sekali tidak ‘menghormati’ keberadaan waduk PLTA Kota Panjang. Waduk yang telah mengamankan kehidupan masyarakat Kampar selama 20 tahun.

Selanjutnya, pola hidup masyarakat Bandung Selatan yang penulis amati yang pertama adalah dari cara mendirikan rumah. Saat berjalan menyusuri wilayah Sungai Citarum dan anak sungai lainnya, terlihat permukiman yang berada di sepanjang pinggiran sungai didirikan membelakangi sungai. Kedua, kebiasaan membuang sampah ke sungai yang dipermudah dengan adanya saluran pembuangan limbah rumah tangga yang dialirkan ke badan sungai. Sedangkan jika dilihat di dalam pola kehidupan masyarakat Kampar atau Riau secara umum, sampah yang ada di lingkungan rumah akan dibakar di halaman rumah yang biasa disebut dengan istilah mowun saghok yaitu membakar sampah. Selain itu, di sepanjang sungai Kampar penulis belum melihat rumah yang dibangun membelakangi sungai. Tapi kesimpulannya, banjir tetap terjadi di kedua wilayah ini yang disebabkan oleh penghilangan kawasan lindung.

Kesenjangan itu!
Disadari bahwa tingkat kesiapsiagaan dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana berbeda-beda. Dua wilayah yang dibahas dalam tulisan ini memiliki kesiapsiagaan yang berbeda.

Warga yang tinggal di kawasan Bandung Selatan memiliki sumber daya manusia dan komunitas yang dapat menghubungkan mereka satu dengan yang lainnya. Penduduk di Bandung Selatan sudah terbiasa dengan banjir bahkan sudah menjadi gaya hidup mereka. Kesiapsiagaan masyarakat sudah terbentuk dengan cara meninggikan perabotan dan barang elektronik di rumah mereka masing-masing. Selain itu, terdapat beberapa rumah yang pondasinya telah ditinggikan dan penambahan jumlah lantai rumah.

Penduduk di Bandung Selatan sepenuhnya sadar bahwa hujan yang terjadi di hulu Citarum dan di Kota Bandung berpotensi mendatangkan banjir di tempat mereka. Berkat adanya komunitas ‘warga siaga’ yang selalu memberikan peringatan melalui media sosial. Oleh karena itu, komunitas tersebut berfungsi sebagai flood early warning system dan meningkatkan kapasitas masyarakat sekitar. Ditambah lagi di dalam komunitas medsos tersebut terdapat berbagai pihak dari berbagai profesi dan kelimuan beragam yang membantu mendiseminasikan informasi (cuaca dan lain-lain).

Bandingkan dengan kesiapsiagaan masyarakat di DAS Kampar. Sejak banjir di tahun 1978, mereka belum mengalami banjir seluas yang terjadi di awal tahun 2015. Akibatnya, antipasti kehilangan harta dan nyawa belum dilakukan sepenuhnya. Hal yang sangat disayangkan adalah, di beberapa kecamatan terdapat sirine untuk peringatan dini banjir yang didirikan oleh PLN dan PLTA Kota Panjang. Agaknya dengan alasan tidak ingin membuat panik masyarakat sirine tersebut tidak difungsikan atau memang tidak ada maintenance dari pihak terkait. Jadi, sistem peringatan dini di sini jauh dari kata optimal.

Lalu Harus Bagaimana?
Berbagai tindakan struktural telah dilakukan pemerintah seperti pengerukan sungai dan normalisasi. Namun, tindakan tersebut seperti tidak memberikan pengurangan apa pun terhadap risiko banjir Bandung Selatan. Miliyaran dana dihabiskan dalam rangka upaya pengurangan banjir. Bahkan, sangat banyak event-event skala nasional yang mengusung tema ‘Citarum Bebas Banjir’ dan sebagainya, namun harapan masyarakat Bandung Selatan sepertinya belum terjawab.

Mari melihat ke DAS yang lain yang belum banyak disoroti di pulau lain di Indonesia. Kejadian banjir yang terjadi di setiap musim hujan menjadi teror bagi penduduk yang tinggal di sekitar sungai. Alih fungsi dan pelanggaran penggunaan lahan tidak menjadi fokus utama bagi pemerintah. Tindakan favorit adalah aksi tanggap darurat saat bencana terjadi dan ‘cuek’ dengan bagaimana cara supaya kejadian yang sama tidak terulang kembali.

Jadi, sebagai penutup, apakah banjir di DAS Kampar dan DAS-DAS lainya menunggu separah dan sesering di DAS Citarum? Apakah menunggu hebohnya pemberitaan di media massa kemudian baru bergerak untuk tindakan darurat? Selanjutnya, apakah hanya masyarakat terdampak yang selalu didorong untuk siap siaga, lebih sadar akan ancaman bencana tanpa menindaklanjuti sumber dari bencana tersebut?


Jelas terlihat bahwa kesadaran masyarakat akan muncul ketika mereka sudah sangat lama menderita akibat bencana dan bagi yang tidak aware hanya menunggu nasib saja. Banjir yang menerjang Kabupaten Garut dan diikuti oleh Kota Bandung kemarin barulah menjadi topik pembicaraan hangat di mana-mana. Tindakan penyusutan oleh polisi untuk menemukan pelaku perusak hutan DAS Cimanuk pun menjadi sorotan. Apakah hal itu akan benar-benar dilakukan? Bagaimana dengan DAS Kampar dan DAS di daerah lainnya? Banjir di Bima, di Aceh, dan daerah lainnya? Barangkali sudah bisa dijawab.

Karena Pemimpin Bukan Hanya Memimpin Manusia, Melainkan Semua Unsur yang Ada di Lingkungan di Daerah yang Dia Pimpin

Tri Annisa Fajri

Setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk kehidupannya masing-masing. Tanggung jawab tersebut diwakili dengan jiwa kepemimpinan yang ada pada individu tersebut. Jiwa ini mengarahkan seseorang untuk hal yang baik atau buruk untuk dirinya sendiri. Namun, untuk skala yang lebih luas, jiwa kepemimpinan ini dapat terwujud dengan kepemilikan jabatan seseorang, mulai dari kepala desa, bupati bahkan presiden.

Beberapa minggu terakhir kita menyaksikan debat para calon di berbagai daerah yang akan menyelenggarakan PILKADA. Debat yang barangkali menjadi sorotan adalah debat cawagub provinsi DKI Jakarta. Terlepas dari semua permasalahan masing-masing calon, penulis tersentak ketika menyaksikan debat pertama yang hanya bertema pembangunan bidang ekonomi dan sosial. Hal ini yang sangat penulis sayangkan. Mengapa politik di Indonesia hanya melulu membahas tentang ekonomi.

Bukankah sebagai seorang pemimpin yang mempunyai target pembangunan dan sebagainya harus sudah memiliki pemahaman pembangunan yang berkelanjutan. Tiga pilar yang selalu didengungkan dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Akan tetapi, pada kenyataannya, pilar pembangunan hanya berfokus pada aspek ekonomi dan sosial saja. Aspek lingkungan selalu diabaikan karena dirasa tidak mendapatkan hasil atau keuntungan apa-apa.

Pilkada di Kabupaten Kampar

Tanggal 6 Februari lalu adalah hari jadi kabupaten yang dikenal dengan julukan Negeri Serambi Mekah. Berbagai acara dilakukan untuk memeriahkan acara tersebut. Hal yang paling menarik adalah adanya perhelatan hari jadi di Sungai Kampar. Sungai yang menurut penulis menjadi ikon Kabupaten Kampar ini selalu menjadi tumpuan kegiatan atau acara di wilayah tersebut.

Namun, ada sesuatu yang belum sinkron antara kegiatan pemerintah dengan kenyataan yang ada. Penulis ingin mengajak untuk mereview kembali banjir yang terjadi di awal tahun 2015 lalu. Banjir tersebut terjadi dari Bulan Januari hingga Februari. Banjir ini dinyatakan sebagai banjir ini adalah banjir yang terbesar yang terjadi selama kurun waktu 30 tahun. Alhasil, tindakan yang dapat dilakukan adalah semacam tindakan kuratif seperti pendirian tenda, pemberian bantuan, dan kegiatan tanggap darurat lainnya. Tentunya, jika kita masih mengingat bencana setahun silam tersebut mengakibatkan kerugian daerah sebesar Rp 50 M.

Apakah pemerintahan daerah kita tidak dapat mengambil pelajaran dari peristiwa ini? Apakah harus terus mengalami bencana dulu baru sadar bahwa apa yang sudah dilakukan sangat berdampak merugikan bahkan membahayakan bagi kehidupan masyarakat? Mari sadar lingkungan bahwa DAS Kampar termasuk ke dalam DAS yang kritis. Kawasan perlindungan setempat dan kawasan hutan lindung sudah dirubah menjadi kawasan perkebunan sawit. Mirisnya, kawasan ini berada di sekitar waduk PLTA Kota Panjang.

Akhir tahun 2017 kemarin, PLTA Kota Panjang sempat berhenti beroperasi karena dangkalnya waduk akibat sedimentasi. Lalu, dampaknya apa? Tak lain tak bukan pemadaman listrik yang sepertinya merupakan permasalahan yang tak kunjung berakhir. Dampak tak tampak (intangible impact) yang harus menjadi penglihatan jeli seorang pemimpin adalah dampak bagi para pelajar atau siswa yang ada di Kabupaten Kampar. Jika listrik mati, pada malam hari, apakah mereka belajar dengan efektif (pengecualian keluarga yang mampu)? Waktu di malam hari yang seharusnya digunakan untuk belajar atau membuat pekerjaan rumah tidak jadi digunakan lantaran tidak ada penerangan. Akibatnya, adalah kemunduran kualitas belajar mereka dan akhirnya sumber daya manusia di daerah menjadi semakin ketinggalan.

Yang paling penting adalah untuk masalah lingkungan. Penulis memiliki analogi seperti berikut. Jika pemerintah berinvestasi dengan membabat habis hutan yang ada di daerah lindung misalkan di sekitar waduk PLTA Kota Panjang. Lalu pemerintah membuka izin untuk membuka secara besar-besaran lahan sawit di sana (taksiran Rp 10 M). Baik, semua sudah mengetahui bahwasanya penghilangan hutan di sekitar daerah aliran sungai (kawasan lindung) maka pasti banjir akan terjadi di daerah tengah atau hilir sungai. Maka akhirnya terjadi banjir, dengan total kerugian Rp 100 M. Sungguh, ini merupakan akibat perencanaan dan tindakan yang tidak berbasis mitigasi bencana. Pembangunan yang sudah dicanangkan akan berhasil ternyata dialokasikan untuk penanggulangan bencana yang sekali lagi tidak bersifat preventif.

Sebentar lagi, perhelatan besar akan diadakan di berbagai daerah. Semoga siapapun nanti calon kepala daerah yang terpilih peka terhadap permasalahan lingkungan yang ada di wilayah kekuasaannya sendiri. Karena jika seorang pemimpin yang sadar lingkungan, dia pasti mengerti sebuah negeri pasti berada dalam suatu sistem DAS. Sebuah sistem yang tidak mengenal batas administrasi sehingga diperlukan koordinasi antar wilayah lintas kabupaten bahkan provinsi. Jika aspek ekonomi dan sosial lebih diutamakan, lalu apakah tempat tinggal kita tidak ikut diiperhitungkan?

Bagi para pemilik suara, penulis hanya ingin menyampaikan bahwa pilihlah pemimpin yang tahu apa yang harus dia perbuat untuk memperbaiki lingkungan, bukan merusak lingkungan. Lihatlah kinerja yang menyelamatkan lingkungan bukan malah merusak alam. Penulis berharap, anak muda, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat cerdas dalam memilih pemimpin untuk negerinya sendiri dan jangan asal pilih. “Karena Pemimpin Bukan Hanya Memimpin Manusia, Melainkan Semua Unsur yang Ada di Lingkungan Daerah yang Dia Pimpin”.

Selasa, 20 Desember 2016

Setelah Banjir, Waspada Kekeringan!

Telah dimuat di opini Riau Pos
Edisi 11 Februari 2016

Suatu kejadian dikatakan sebagai sebuah bencana adalah jika menyebabkan kehilangan nyawa, kerusakan harta benda dan mengganggu psikologis sekelompok orang. Bencana banjir yang terjadi dimulai dari daerah Pangkalan Kapur XI, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat merupakan kejadian yang sudah merusak bahkan menyebabkan kehilangan nyawa. Termasuk di Kabupaten Kampar yang sebagian besar merupakan daerah tangkapan air (DAS Kampar).

Genangan yang terjadi di pinggiran Sungai Kampar menjadi tontonan bagi penduduk setempat yang memang mengagetkan karena belum pernah terjadi sejak tahun 1978. Namun lagi-lagi, tidak ada catatan kejadian banjir yang tercatat di instansi pemerintahan atau pun dinas kabupaten. Sejarah ini hanya dituturkan dari para tetua kita yang dulunya mengalami banjir besar.

Sekiranya kita berduka cita dan bersedih dengan adanya bencana banjir besar ini. Hal ini dikarenakan kita sebagai manusia, di setiap kejadian yang dapat dikatakan sebagai sebuah masalah, harus menyikapinya secara logis dan tindakan yang tepat. Oleh karena itu, yang menjadi tugas penting kita bersama adalah bagaimana mencari solusi atas kejadian buruk yang menimpa bersama dengan ketidaktahuan mengenai apa yang harus dilakukan pada saat bencana menimpa.

Pertanyaannya adalah, apakah kita hanya mengatasi masalah pasca bencana tersebut terjadi atau mencari serta menemukan solusi atas permasalahan tersebut.

Banjir yang terjadi sejak Januari lalu seharusnya menyiratkan akan kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat terutama pemerintah dalam berkoordinasi atau bekerja sama dalam menghadapi kejadian berikutnya (lebih parah). Namun, sepertinya hal itu tidak bekerja dengan optimal.

Penduduk Kampar harus mengetahui bahwa sebagian besar wilayah hulu DAS Kampar terletak di daerah mereka sendiri, yaitu 91% sedangkan 9% berada di provinsi tetangga. Hal ini mengharuskan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk berkoordinasi bukan hanya sekedar merencanakan program pelestarian DAS yang mengcover lintas sektor namun juga pengimplementasian dan pengawasan daerah hulu di daerah bersangkutan.

Penyebab Banjir
Seperti tulisan penulis bulan lalu, opini edisi 26 Januari 2016, yang menjadi penyebab atas musibah ini bukanlah curah hujan yang selalu turun selama beberapa hari tiada henti, bahasa Kamparnya, ‘ujan towui aghi, ndak bonti-bonti do!’. Sekali lagi, bukan itu yang jadi permasalahan utama bencana banjir ini. Penulis mengajak kepada masyarakat terutama pemerintah untuk memahami bagaimana kejadian yang sudah lama tidak terjadi ini kembali berulang di tahun 2016. Bahkan barangkali hanya sebagian orang yang mengetahui bahwa tujuan dari pembangunan waduk PLTA Koto Panjang adalah untuk memitigasi banjir yang terjadi puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang? Siapa yang bertanggung jawab atas permasalahan ini? Bagaimana antisipasi bencana yang dapat dikatakan sebagai bencana akibat perbuatan manusia ini?

Penulis mengasumisikan bahwa banjir yang sangat besar tersebut bukan disebabkan oleh faktor alam atau fisik melainkan karena akibat tindakan manusia. Barangkali bukan rahasia umum lagi, jika kawasan hutan lindung yang ada di daerah hulu DAS Kampar dan di sekitar waduk PLTA Kota Panjang sudah dirubah dengan sengaja untuk area penggunaan lain (APL). Akan tetapi, mengapa tindakan ini begitu mudah dilakukan oleh oknum-oknum tersebut? Bagaimana mendapatkan izin untuk menggarap lahan yang seharusnya melindungi banyak orang dari bencana banjir beberapa hari kemarin?

Seharusnya kita semua sadar, sejak tahun 1978 memang terjadi banjir besar di sepangjang sungai Kampar. Dikarenakan topografi yang rendah maka membuat pemimpin pada saat itu mencanangkan adanya waduk yang berfungsi menahan debit air yang berasal dari provinsi tetangga. Tindakan inilah yang disebut dengan mitigasi struktural. Namun, sayang, hanya berselang 38 tahun sejak waduk ini diresmikan, yaitu tahun 1996, fungsi tersebut hilang hanya dalam waktu 1 hari. Penulis juga menyangsikan bahwa kejadian banjir ini akan terus berulang tiap tahunnya dengan intensitas yang berbeda, jika tata guna lahan di kawasan hulu di daerah tersebut tidak diperbaiki atau dikonservasi oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Apabila dibiarkan oleh pemerintah, maka hanya tinggal menunggu bencana selanjutnya.

Setelah banjir akan ada kekeringan
Sistem alam yang perlu diingat bahwa, jika suatu kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan resapan air (kawasan hutan lindung) diubah menjadi lahan terbuka maka air hujan yang jatuh tidak akan terserap secara maksimal oleh tanah. Akibatnya, limpasan permukaan seterusnya debit sungai tidak dapat dielakkan sehingga mengakibatkan banjir. Nah, dikarenakan tidak ada simpanan air yang diserap oleh vegetasi yang berada di kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung, artinya, kandungan air tanah akan semakin berkurang.

Kita semua mengetahui bahwa air tanah berfungsi sebagai sumber air untuk kehidupan manusia. Daerah hulu yang memiliki topografi yang tinggi akan mengalirkan air tanah tersebut ke daerah yang lebih rendah lainnya, dalam hal ini daerah DAS bagian tengah dan hilir. Jika sebelumnya sudah terjadi aliran permukaan secara besar-besaran dan tidak terdapat simpanan air di dalam tanah ketika musim hujan (berujung banjir), akibatnya kemudian jika musim hujan telah berakhir, cadangan air bawah tanah tidak akan cukup tersedia untuk kehidupan masyarakat. Dampak lainnya sumber air yang ada di waduk pun menjadi berkurang, akibatnya kekurangan air tersebut membuat tidak maksimalnya fungsi kerja alat pembangkit listrik di waduk PLTA Kota Panjang. Apakah hal ini sudah dipikirkan oleh masyarakat? Apakah dampak tersebut sudah diantisipasi oleh pemerintah?
Wallahu’alam

Paradigma Penanggulanan Bencana yang Salah Kaprah
Bencana yang terjadi memerlukan manajemen yang komprehensif dan terukur. Manajemen tersebut dilakukan dengan perencanaan penanggulangan bencana, dimulai dari pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, emergency response dan rehabilitasi dan rekonstruksi. Penulis tidak akan menguraikan semua tahap tersebut. Namun yang menjadi inti permasalahan banjir atau lingkungan lainnya di Provinsi Riau adalah tidak teregulasinya buku pedoman tata ruang provinsi dan berefek kepada kebijakan RTRW kabupaten/kota di bawahnya. Permasalahan RTRW ini sangat riskan sehingga menyebabkan berbagai permasalahan dan sengketa lahan di berbadai daerah. Sekarang, Kabupaten Kampar, wilayah yang luas dan ber-geomorfologi dataran banjir menjadi sangat rawan untuk terjadi banjir. Namun dengan adanya pembangunan waduk PLTA Kota Panjang mengurangi kejadian banjir di daerah tengah dan hilir, akan tetapi sekarang yang terjadi adalah banjir besar di daerah hulu dan tengah DAS Kampar.

Apakah sudah terlambat bagi pemerintah daerah untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelanggaran tata guna lahan di kawasan lindung? Apakah begitu mudah untuk memberikan izin untuk merubah kawasan lindung menjadi kawasan perkebunan di daerah tangkapan air? Sungguh, kebijakan ini hanya akan menyengsarakan rakyat yang sedang berjuang untuk memperbaiki kehidupan. Alih-alih pemerintah mencanangkan Kabupaten Kampar sebagai kabupaten maju dan terbaik di Provinsi Riau. Kenyataannya, masalah lingkungan dan bencana saja pemerintah seperti tidak menyadari betapa pentingnya untuk menjaga kawasan lindung dari pihak-pihak bermodal besar. Sekali lagi, manajemen bencana bukan hanya berada pada tahap tanggap darurat namun pencegahan dan mitigasi adalah hal yang harus dilakukan dengan segera dan sangat tegas sehingga banjir yang sepertinya akan terjadi di tiap tahun setelah ini akan semakin besar peluang terjadinya serta ancaman kekeringan pun tak bisa dihindarkan.

BERDIAM DIRI ATAU BERTINDAK???

Telah dimuat di Opini Riau Pos
Edisi 26 Januari 2016

Bencana banjir terjadi akibat berbagai faktor yaitu faktor fisik (alam) dan faktor non fisik (manusia). Salah satu faktor fisik yang selalu menjadi kambing hitam pada kejadian banjir di suatu wilayah adalah faktor curah hujan. Di media elektronik, cetak atau media sosial sekalipun selalu mengekspos bahwa penyebab banjir adalah karena si ‘curah hujan’.

Pertanyaannya adalah apakah adil dan bijak jika kita menyalahkan curah hujan sebagai dalang ‘banjir’ yang sama sekali adalah rahmat dari Sang Pencipta? Mari kita menelisik ke faktor lainnya, yaitu faktor non fisik atau lebih dikenal sebagai ulah tangan manusia, yaitu perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS), pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase, perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat dan penuruan tanah (Kodoatie & Sjarief, 2010).

Diantara faktor-faktor tersebut yang diyakini paling berpengaruh terhadap kejadian banjir adalah perubahan land use yang diakibatkan oleh kebutuhan aktivitas manusia terhadap lahan (Hazarika dkk, 2015; Rosyidie, 2013; Wangsaatmaja dkk, 2006). Kebutuhan terhadap lahan ini diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk, tuntutan pertumbuhan ekonomi dan faktor lainnya yang dapat dibahas dalam kajian lainnya.

Nah, hal inilah yang harus kita perhatikan secara seksama, apakah bencana yang terjadi diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi atau tindakan kita yang seolah-olah tidak paham bagaimana sistem hutan bekerja dalam suatu DAS atau Daerah Aliran Sungai (siklus hidrologi). Seyogyanya, air hujan yang jatuh dalam suatu wilayah tangkapan air hujan akan diserap oleh tanah yang bervegetasi hutan yang dinamakan dengan proses infiltrasi.

Namun ketika vegetasi hutan diganti dengan vegetasi lain seperti perkebunan sawit (perakaran), maka air hujan (presipitasi) yang jatuh tidak sepenuhnya diserap oleh tanaman ini. Akibatnya limpasan permukaan tidak dapat dibendung lagi. Ujung-ujungnya, aliran sungai atau kawasan daerah aliran sungai di bagian tengah dan hilir akan dilanda banjir disebabkan oleh berkurangnya tutupan lahan di kawasan hulu (catchment area).

Catchment area
Sekarang kita beranjak ke lokasi yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Sebuah waduk yang mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas 114 MW (https://pltakotapanjang.wordpress.com/) ini terancam mengalami penurunan usia pakai.

Hal ini disebabkan material erosi dan sedimentasi yang mungkin sedang terjadi dalam jumlah besar di wilayah hulu DAS. Dampaknya adalah tentu menghambat kinerja waduk itu sendiri, namun asumsi ini harus dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai laju erosi dan sedimentasi akibat penggundulan hutan di sekitar waduk dan di hulu di provinsi tetangga.

Harus diingat bahwa konstruksi hebat ini sekaligus berfungsi sebagai sumber tenaga listrik yang dirancang oleh kontraktor Sumitomo Corporation dari Tokyo, Jepang. Konstruksi ini merupakan salah satu bentuk mitigasi struktural dalam mengurangi risiko banjir yang dulunya barangkali dapat dikatakan sebagai palaeoflood (tidak ada catatan yang ditemukan namun berdasarkan penuturan para orang tua terdahulu banjir terjadi dalam genangan yang sangat luas).

Yang harus diperhatikan oleh pemimpin daerah baik kabupaten maupun provinsi, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya adalah kawasan yang berada di sekitarnya waduk ini adalah berada dalam kawasan suaka alam dan hutan konservasi (rancangan RTRW Kabupaten Kampar). Menurut undang-undang penataan ruang bahwa area hutan di sekitar waduk yang seharusnya menjadi kawasan perlindungan setempat dan dalam PP No. 28 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional bahwa kawasan sekitar danau ditetapkan berjarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danau atau waduk tertinggi.

Faktanya, kita bisa melihat pemandangan hijau yang asri dulu kini sudah berubah menjadi kawasan cokelat, di sana terlihat jelas bagaimana massive nya pembakaran, penggundulan hutan dan pengalihfungian lahan di sekitar waduk. Mirisnya adalah, walaupun terpasang garis polisi di area pembakaran, namun oknum-oknum tertentu masih melakukan aktivitasnya untuk merubah tutupan lahan yang seharusnya tidak boleh dirubah menjadi peruntukan lain, apapun itu.

Namun yang terjadi saat ini membuat penulis pribadi ngeri membayangkan skenario terburuk dari turunnya daya dukung waduk tersebut. Semoga saja tidak terjadi jika pemerintah dan seluruh unsur masyarakat sadar akan risiko tersebut. Pertanyaannya, mau menunggu sampai kapan hingga terjadi bencana yang lebih besar dan ekstrim?

Akan tetapi, di sisi lain, menurut saya, jika yang melakukan penghilangan hutan tersebut adalah masyarakat dengan klaim lahan itu adalah hak ulayat, maka peran pemerintah adalah mengayomi untuk memberikan perlakuan khusus kepada masyarakat yang mungkin dulunya tergusur sebagai dampak pembangunan waduk. Hal ini memang merupakan permasalahan kepemilikan lahan di manapun di Indonesia.

Rencana salah satu instansi pemerintah BPDAS misalnya dengan program agroforestry yang tetap melindungi vegetasi berkayu namun tetap dapat menopang kehidupan masyarakat adalah dengan memvariasikannya dengan tanaman lain yang dapat menghasilkan bagi penghidupan masyarakat.

Tetapi jika yang melakukan penghilangan hutan tersebut adalah oknum-oknum pengusaha bahkan pejabat yang hanya ingin menambah kekayaan, kasus ini harus benar-benar diselidiki oleh pemerintah dan kepolisian. Bukan hanya berdiam diri, mengadakan rapat kerja dan kunjungan ke sana ke mari tapi bertindak bagaimana kejadian atau tindakan hilangnya kawasan lindung tersebut berangsur-angsur hilang dan tidak terjadi lagi.

Kegiatan Penanggulangan bencana
Kita semua sangat menghargai usaha pemerintah dalam menangani bencana yang terjadi, seperti SKPD Badan Penganggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang mengerahkan seluruh tenaga dalam menyelematkan korban banjir yang terjadi sejak tanggal 17 Januari kemarin. Tindakan ini merupakan perwujudan perlindungan kepada masyarakat dalam mengemban tugas kemanusiaan.

Tindakan ini merupakan kegiatan represif, yaitu tindakan yang dilakukan setelah terjadinya bencana.
Dari sudut pandang lain, penanggulangan bencana tidak hanya berada pada tahap kedaruratan, rehabilitasi atau rekonstruksi semata yang dilakukan pada saat dan pasca bencana terjadi. Namun, hal yang terpenting yang selalu dilupakan adalah tindak pencegahan atau rencana mitigasi bencana (tindakan preventif).

Tindakan mitigasi ini dapat berupa mitigasi struktrual dan non struktural.,Nah, yang belum ada di daerah ini adalah mitigasi nonstruktural yang berwujud perencanaan tata guna lahan yang dituangkan dalam RTRW Provinsi dan Kabupaten. Sayangnya pedoman atau kitab suci perencanaan wilayah ini belum kunjung dirampungkan sehingga bermunculan masalah seperti bencana banjir.

Setelah mitigasi ini dilakukan, terdapat tahapan lainnya yaitu kesiapsiaagaan dalam mengurangi risiko bencana yaitu kesiapsiagaan. Pertanyaan selanjutnya, apakah masyarakat kita sudah siap dalam menghadapi banjir ini? Jalur evakuasi, tempat evakusi, penyelamatan pertama dan apa yang harus dilakukan lainnya benar-benar dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat? Cukupkah sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat? Mengingat alat sistem peringatan dini yang sampai saat ini belum difungsikan secara maksimal oleh pemerintah.

Terakhir, jika kita hanya ingin befokus kepada penanggulangan bencana banjir pada pasca kejadian, maka risiko yang harus diterima adalah kerugian yang diakibatkan oleh bencana yang seharusnya terlebih dahulu dapat dilakukan dengan cara mitigasi bencana, penetapan secara ketat kawasan lindung dan pemberlakuan hukum secara tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar aturan tersebut.

Apabila hal ini belum dilakukan maka kegiatan pembangunan yang sudah dirancang dan bertujuan memajukan daerah, malah mendatangkan kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh ketidakpedulian terhadap alam dan lingkungan yang seharusnya dijaga. Karena manusia diciptakan di bumi ini adalah sebagai pengelola bumi secara arif dan paham bagaimana jika alam diperlakukan dengan tidak semestinya.

Alam tidak membutuhkan manusia, tapi kita, manusia yang bergantung kepada alam.




Selasa, 13 Desember 2016

Kasian mereka…

Mereka adalah generasi penentu kemakmuran bangsa. Tahun berganti tahun, kelak, mereka yang akan menjadi pemimpin negeri ini. Tipe kepemimpinan yang bagaimana dan seperti apa barangkali belum dapat kita prediksi dengan tepat.

Akan tetapi, lihatlah. Pengaruh zaman dan teknologi yang ada pada saat ini membuat anak muda dan remaja generasi penerus bangsa terlena dengan apa yang ada di genggaman mereka. Bahkan orang-orang tua pun kita juga melihat hal yang demikian, tapi yang saya soroti di sini adalah kaum muda. Pemuda pemudi.

Teknologi, informasi, dan gaya hidup sudah merubah pola pergaulan anak muda pada saat ini. Jika diperhatikan berdasarkan tingkat pendidikan, mulai dari sekolah menengah bahkan dari sekolah dasar pun, para pelajar sudah memiliki gadget (apapun cara mereka mendapatkannya).

Lantas, apakah salah mereka memiliki barang canggih tersebut? Apakah keliru jika mereka menggunakan benda ajaib tersebut untuk memudahkan hidup mereka? Nah, apakah benar memudahkan mereka? Sebagian orang akan menjawab, ‘iya, lebih mudah dan sangat berguna’.

Menurut pemikiran saya selama ini dan saya berpendapat bahwa hal ini sangat sangat merugikan mereka.  Saya tidak mengenyampingkan kepraktisan yang didapat dari gadget yang mereka miliki. Tidak! Namun ada hal yang sangat saya sayangkan dari hal tersebut.

Pertama, memang terlihat tidak adil jika membandingkan masa anak muda sekarang dengan masa anak tahun 1990-an atau lebih jauh ke belakang. Masa dulu, kita tidak pernah mengandalkan ‘si handpone’ untuk kebutuhan mata pelajaran, penolong pekerjaan rumah, dan mengetahui apa yang dikerjakan oleh teman-teman.

Dulu, kita hanya mengandalkan internet untuk mencari sumber atau referensi akademik dan itupun hanya dalam kadar yang sewajarnya. Hanya browsing sebentar di ‘warnet’ lalu pergi melanjutkan aktivitas lain. Atau bolehkah saya meminta konfirmasi apakah hal ini yang dilakukan anak muda 1990-an? Jika tidak benar berarti itu adalah pengalaman saya sendiri. Maafkan.

Sekarang lihat pada saat ini, mereka menggunakan gadget untuk semua aspek dan kebutuhan hidup. PR, berkumpul dengan teman, pergi ke sana kemari, semuanya mudah dilakukan dengan gadget. Ke mana-mana isi genggaman tangan mereka adalah android, i-phone, dan tipe-tipe yang sudah dianggap teman kecil mereka.

Yang saya sayangkan di sini adalah usaha mereka yang terlalu mudah untuk mengakses informasi dan asisten untuk pengerjaan tugas rumah mereka. Cobalah untuk berpikir lebih kritis lagi tanpa harus membaca sumber-sumber yang ada di gadgetmu terlebih dahulu, pikir dahulu, baru cari pendukung dan penolak ide dan pendapatmu.

Kedua, masalah waktu hidup. Coba sekarang kita jujur dengan diri sendiri, berapa lama kita menatap layar terang nan menyakitkan mata itu? 7 jam? 10 jam? 15 jam? Atau 20 jam? Oh tidak, alokasi waktu yang lebih banyak dari istirahat dalam sehari bukan?

Apa yang didapat dari aktivitas yang membuat mata yang awalnya bagus lalu menjadi minus atau kerusakan mata lainnya? Apa yang dirasakan ketika kita bersama orang tersayang lalu kita malah asik memandang ke bawah sembari cekikikan sendirian? Lalu jari-jari sibuk mencari kesenangan sementara orang yang dihapadan kita merasa sangat terabaikan? Bahkan keluarga? Tidak, saya lebih baik menyimpan kotak kecil itu.

Benang merah yang saya sampaikan pada poin ke dua ini adalah keborosan waktu yang sudah kita lakukan selama ini terhadap apa yang ada di genggaman tangan. Lihat dan perhatikan anak muda zaman sekarang, SMP, SMA di mana-mana mereka tekun dengan gadget mereka.

Dulu kita lebih banyak bermain dengan teman-teman, banyak belajar, dan berkumpul dengan keluarga. Namun, pada saat ini saya merasakan hal yang sangat sia-sia. Ketika waktu dalam sehari lebih banyak digunakan untuk berinteraksi dengan benda mati, lalu apakah hidup ini menjadi lebih produktif?

Kasian, dulu waktu sangat banyak dihabiskan untuk kegiatan beragam, tapi sekarang, apa-apa, di mana-mana, gimana gimana semuanya lihat ke bawah (nunduk). Tidak ada waktu yang tidak terpakai untuk si canggih nan pintar itu. Banyak waktu yang terkucur habis demi memantau perkembangan terbaru dari handpone yang dimiliki masing-masing.

Lupa, bahwa waktu dalam satu hari itu hanya sedikit untuk melakukan hal yang berarti. Ternyata malah habis untuk hal yang belum tentu bermanfaat untuk hidup di masa muda. Lagi, jika dibandingkan dengan masa sekolah saya dulu, saya berani mengatakan, saya beruntung karena saya tidak tergantung dengan kecanggihan gadget masa sekolah.

Waktu terasa lebih berharga dan kegiatan sehari-hari dilakukan dengan sepenuh hati tanpa  harus menundukkan kepala setiap saat. Kecuali jika bertemu dengan para guru di sekolah. Hehe… jadi kasian mereka, waktu mereka habis di tekukan kepala, waktu mereka habis untuk hal indah di hadapan mereka, dan mereka lalai terhadap masa depan mereka.

Akhirnya, saya meminta maaf jika tulisan ini jauh dari kebenaran dan fakta sebenarnya. Karena saya hanya merasa kasian dan ‘waktu’ masa muda saya dahulu (masa 1990an) lebih terselamatkan. ^_^