Wilayah di Indonesia terbagi atas satuan
wilayah sungai yang biasa disebut dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Bentang alam DAS memiliki kekayaan
sumber daya air dan lahan yang dimanfaatkan oleh semua pihak, lintas sektor dan lintas wilayah administratif. Berkaitan dengan
salah satu sumber daya air, penulis tertarik mengulas di awal tulisan mengenai sejarah banjir di DAS
Citarum & DAS Kampar di Provinsi
Riau. Kemudian mengenai perbedaan antara
kondisi sumber daya air dan pemanfaatan lahan di dua wilayah tersebut. Lalu diakhiri dengan solusi potensi pelestarian yang dapat
dilakukan untuk mengharumkan kembali Sungai Citarum.
Berdasarkan historis yang tercatat, banjir besar Citarum pertama kalinya terjadi pada
tahun 1931 (BBWS-Citarum). Kemudian kembali terjadi dengan skala banjir yang lebih
besar tahun 1986. Adapun banjir skala kecil juga sering terjadi di setiap tahunnya hingga
tahun 2017. DAS Citarum dengan topografi yang tajam sedangkan DAS Kampar dengan
keadaan wilayah yang relatif datar. Sedangkan banjir besar di kawasan DAS Kampar yang tercatat terjadi
pada tahun 1978.
Akibatnya pada tahun 1996, pemerintah merealisasikan pembangunan waduk (PLTA Kota
Panjang) dengan tujuan mengurangi banjir. Selain tujuan
mitigasi banjir, waduk tersebut dibangun sekaligus untuk memenuhi
kebutuhan listrik di daerah Riau dan sekitarnya. Akan tetapi, pada awal tahun
2015 lalu, banjir besar terjadi lagi di sepanjang aliran Sungai Kampar. Hal lain yang menarik adalah kawasan hulu DAS Kampar ini berada di
kabupaten di provinsi Sumatera Barat yang bersebelahan langsung dengan
Kabupaten Kampar. Fakta ini mengindikasikan keterlibatan antar wilayah provinsi
dan bukan hanya lintas sektor.
Jika dilihat dari penyebab banjir, akar
penyebab banjir di DAS Citarum hampir sama dengan di DAS Kampar. Hulu DAS
Citarum sebagian besar sudah dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan oleh
masyarakat setempat, seperti tanaman holtikultura dan tanaman semusim lainnya.
Begitu juga halnya dengan kawasan hutan lindung di hulu DAS Kampar dan di sekitar waduk PLTA Kota Panjang,
telah digantikan oleh ladang sawit. Lahan yang dulunya ditopang oleh
hutan lindung sudah berubah menjadi tanaman yang tidak
memiliki kapasitas untuk menyerap dan menyimpan air. Kawasan yang seharusnya diatur dalam rencana tata ruang menjadi kawasan
perlindungan kawasan bawahannya sudah dihilangkan fungsinya. Penyebabnya adalah
tindakan
para eksploitaser yang tidak memperhitungkan fungsi kawasan lindung dan
penyangga waduk tersebut. Pihak-pihak tersebut seakan tidak
‘menghormati’ keberadaan waduk PLTA Kota Panjang yang telah mengamankan
kehidupan masyarakat Kampar selama kurun waktu lebih
dari 20
tahun.
Pola
Hidup Masyarakat
Mengenai pola hidup masyarakat, penulis mencoba untuk memaparkan
beberapa kondisi yang diamati di Kawasan Bandung Selatan. Wilayah yang mewakili
DAS Citarum bagian hulu dan yang paling sering mengalami banjir Citarum serta
merupakan kajian tesis penulis saat menyelesaikan studi di Kota Bandung. Pola
hidup masyarakat Bandung Selatan yang penulis amati yang pertama adalah dari
cara mendirikan rumah. Saat berjalan menyusuri wilayah Sungai Citarum dan anak
sungai lainnya, sebagian besar rumah penduduk yang
berada di sepanjang pinggiran sungai didirikan membelakangi sungai. Padahal aturan yang semestinya adalah tidak membelakangi
sungai. Kedua,
kebiasaan membuang sampah ke sungai memang sudah
menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat. Hal ini dipermudah
dengan adanya saluran pembuangan limbah rumah tangga yang dialirkan ke badan Sungai Citarum (Gambar 1).
Gambar
1. Saluran
Pembuangan Limbah Rumah Tangga di Dayaeukolot
(Dokementasi
pribadi, 2016)
Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa kebiasaan dan struktur
permukiman yang memudahkan pembuangan sampah di kawasan Sungai Citarum.
Dampaknya adalah banjir yang selalu terjadi tiap tahunnya. Tentu hal ini bukan
faktor utama penyebab banjir di kawasan Bandung Selatan ini, melainkan juga
adanya pengaruh tutupan lahan yang sudah berubah di kawasan hulu yaitu menjadi kawasan
holtikultura.
Sedangkan jika dilihat di dalam pola
kehidupan masyarakat Kampar atau Riau secara umum, cara mendirikan rumah adalah tidak membelakangi sungai, akan tetapi
menghadap ke badan sungai. Seperti pada gambar 2 juga terlihat bahwa adanya
jarak antara permukiman dengan badan sungai yang biasa disebut dengan sempadan
sungai. Kemudian, budaya di daerah ini adalah kebiasaan membakar sampah yang
ada di sekitar rumah penduduk. Sampah yang ada di lingkungan rumah akan
dibakar di halaman rumah yang biasa disebut dengan istilah mowun saghok (merun). Jadi, tidak menjadi
hal lumrah jika sampah di sekitar rumah dibuang ke sungai. Kesimpulannya
dari penjelasan perbedaan di atas adalah banjir yang kerap
terjadi di kedua wilayah ini disebabkan oleh penghilangan kawasan lindung. Citarum dengan holtikuluranya dan Kampar dengan sawitnya.
Gambar
2 Struktur
Permukiman di Sungai di Riau
(dokumentasi
pribadi, 2018)
Solusi dan Potensi Masyarakat
Berbagai tindakan struktural telah
dilakukan pemerintah seperti pengerukan sungai dan normalisasi. Namun, tindakan
tersebut seperti tidak memberikan pengurangan apa pun terhadap risiko banjir
Bandung Selatan. Miliyaran dana dihabiskan dalam rangka upaya pengurangan
banjir. Bahkan, sangat banyak event-event
skala nasional yang mengusung tema ‘Citarum Bebas Banjir’ dan sebagainya,
namun harapan masyarakat Bandung Selatan sepertinya belum terjawab.
Namun, ada baiknya semua elemen masyarakat sama-sama
merubah keadaan saat ini menjadi lebih baik. Dimulai dari hal yang kecil dan
merubah kebiasaan yang merugikan keadaan sekitar. Menurut penulis, pola rumah
penduduk yang membelakangi sungai dapat dirubah sedemikian rupa. Saluran
pembuangan limbah yang memang sengaja diposisikan mengalir ke badan sungai
dapat dihilangkan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah penutupan saluran
limbah tersebut dan menggantinya dengan sarana pembuangan limbah. Penyediaan
sarana ini menjadi tanggung jawab dari dinas atau kementrian terkait yaitu
pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Akan tetapi, bagiamanakah tindakan
penyadaran kepada masyarakat?
Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan sosialiasi di
sekolah tingkat dasar hingga menengah di semua kecamatan yang dialiri Sungai
Citarum dan anak sungainya. Fokus dalam sosialisasi ini adalah memberikan
gambaran terburuk dari pembuangan limbah ke badan sungai. Dengan demikian,
siswa yang mendapatkan paparan mengenai dampak pembuangan limbah rumah tangga
ke sungai menjadi paham dan aware terhadap
bahaya yang dapat mengancam kesehatan mereka dan keluarganya. Selanjutnya di
tingkat keluarga yaitu ibu rumah tangga beserta kepala keluarga, adalah dengan
penyuluhan di setiap RT dan RW. Penyuluhan tersebut menjelaskan kepada warga
untuk tidak lagi membuah sampah dan limbah rumah tangga ke sungai sekaligus
diberikan sarana kebersihan di masing-masing rumah. Sarana tersebut dapat
berupa IPAL komunal, penyediaan alat angkut dan penyedot tinja, penyediaan air
baku, dan instalasi air dan lainnya sehingga tidak akan ada lagi yang membuang
limbah ke sungai. Diharapkan metode persuasif sekaligus penyediaan sarana ini
dapat mengubah pola pikir dan pola hidup penduduk setempat.
Kemudian jika melirik ke bagian hulu Sungai Citarum yang
sudah menjadi kebun masyarakat, dapat dilakukan dengan beberapa pemberdayaan yang
mengarah ke keberlanjutan ekonomi masyarakat. Contohnya adalah merubah tanaman
holtikultura tersebut menjadi tanaman berkayu. Dalam hal ini tanaman tersebut
dapat menyerap air dan juga menyimpan cadangan air karena perakarannya.
Pengetahuan yang sering kita dapatkan adalah jika musim hujan terjadi, maka
yang menjadi penahan air di wilayah hulu adalah tanaman berkayu. Dampaknya
adalah aliran air permukaan tidak terlalu besar dibandingkan jika tidak ada
pohon sama sekali. Nah, begitu juga sebaliknya, jika pada saat musim kemarau
wilayah tersebut tidak akan mengalami kekeringan.
Berdasarkan sifat alam di atas, upaya yang dapat mengalihkan
kegiatan perkebunan holtikultura penduduk adalah dengan mengganti jenis tanaman
dengan tanaman kopi dan kaliandra. Tanaman kopi merupakan tumbuhan berkayu yang
diharapkan dapat menjaga kestabilan air dan tanah di wilayah hulu, dapat juga
menjadi potensi yang besar bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan menjamurnya
bisnis cafe yang menjadi primadona oleh semua kalangan, khususnya para anak
muda Bandung. Salah satunya adalah jenis kopi Sundanika yang dapat menjadi
pilihan untuk dibudidayakan di kawasan hulu Citarum. Pemain inti dalam hal ini
adalah petani kopi dan pengelola cafe di kawasan Bandung Raya. Pemilik cafe
mendapatkan suplai kopi dari petani secara langsung, sehingga kualitas dan
harga dapat diatur sedemikian rupa oleh kedua belah pihak. Jadi, ada keberlangsungan
suplai bagi pemilik usaha dan keberlanjutan tanaman kopi bagi petani lokal.
Selanjutnya tanaman kaliandra yang juga dapat tumbuh di
kawasan hulu Citarum. Banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari tanaman
yang satu ini. Diantaranya adalah dari daunnya yang dapat dijadikan pakan
ternak. Seperti yang diketahui bahwa di beberapa tempat di kawasan hulu Citarum
sangat banyak peternakan yang dikelola masyarakat. Dari daun tumbuhan ini dapat
dijadikan pakan bagi ternak mereka. Selain itu, tanaman kaliandra juga dapat
dijadikan sebagai sumber biofuel yang
memiliki potensi yang sangat besar. Jika peluang ini segera dikembangkan, maka
hasilnya kelestarian wilayah hulu kembali asri dan penduduk mendapatkan
keuntungan dari hasil alamnya.
Dengan keanekaragaman tanaman yang dapat dikembangkan di
wilayah hulu Citarum yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat memulihkan
kehidupan masyarakat setempat yang tidak serta merta dilarang dari kegiatan
perkebunan holtikultura. Masih sangat banyak potensi alam dan tanaman budidaya
yang dapat dikembangkan di kawasan Citarum. Tujuan pengharuman citarum bukan
hanya membatasi aktivitas penduduk melainkan mengembangan potensi usaha di masa
mendatang dengan tidak mengorbankan kelestarian alam sekitar.
Akhirnya,
bukan hanya tindakan struktural yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dan
pemerintah pusat untuk menciptakan Citarum Harum. Melainkan juga tindakan non
struktural yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat setempat. Biaya yang
dihabiskan untuk normalisasi sungai memang sangat besar. Tetapi untuk
memberdayakan dan berada di tengah-tengah masyarakat jauh lebih efektif dan
efisien.
Bencana
yang terjadi adalah bukan hanya ditanggapi pada saat dan setelah bencana itu
terjadi, melainkan bagaimana upaya-upaya pencegahan dilakukan sedini mungkin.
Yang terdampak bencana dan buruknya lingkungan adalah masyarakat, sehingga yang
lebih dulu diberikan perhatian dan preventive
action adalah masyarakat. Terkadang, manusia berupaya sekuat tenaga untuk
menghadapi bencana namun lupa bagaimana untuk mencegah agar tidak terjadi
bencana. Semoga sungai-sungai lain di Indonesia tidak sampai menyamai keadaan
terburuk Sungai Citarum dan semua pihak berharap Citarum kembali harum. Aamiin.