Kuok Sub-District

Tanah, Udara, Air Kelahiranku

Air Terjun Panisan

Ngalai, XIII Koto Kampar

Waduk PLTA Kota Panjang

Sumber Listrik, Mitigasi banjir, Perikanan, Pariwisata

Sunset Pangandaran

Mimpi untuk 'Aurora' Masih Akan Tetap Ada

Selasa, 20 Desember 2016

Setelah Banjir, Waspada Kekeringan!

Telah dimuat di opini Riau Pos
Edisi 11 Februari 2016

Suatu kejadian dikatakan sebagai sebuah bencana adalah jika menyebabkan kehilangan nyawa, kerusakan harta benda dan mengganggu psikologis sekelompok orang. Bencana banjir yang terjadi dimulai dari daerah Pangkalan Kapur XI, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat merupakan kejadian yang sudah merusak bahkan menyebabkan kehilangan nyawa. Termasuk di Kabupaten Kampar yang sebagian besar merupakan daerah tangkapan air (DAS Kampar).

Genangan yang terjadi di pinggiran Sungai Kampar menjadi tontonan bagi penduduk setempat yang memang mengagetkan karena belum pernah terjadi sejak tahun 1978. Namun lagi-lagi, tidak ada catatan kejadian banjir yang tercatat di instansi pemerintahan atau pun dinas kabupaten. Sejarah ini hanya dituturkan dari para tetua kita yang dulunya mengalami banjir besar.

Sekiranya kita berduka cita dan bersedih dengan adanya bencana banjir besar ini. Hal ini dikarenakan kita sebagai manusia, di setiap kejadian yang dapat dikatakan sebagai sebuah masalah, harus menyikapinya secara logis dan tindakan yang tepat. Oleh karena itu, yang menjadi tugas penting kita bersama adalah bagaimana mencari solusi atas kejadian buruk yang menimpa bersama dengan ketidaktahuan mengenai apa yang harus dilakukan pada saat bencana menimpa.

Pertanyaannya adalah, apakah kita hanya mengatasi masalah pasca bencana tersebut terjadi atau mencari serta menemukan solusi atas permasalahan tersebut.

Banjir yang terjadi sejak Januari lalu seharusnya menyiratkan akan kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat terutama pemerintah dalam berkoordinasi atau bekerja sama dalam menghadapi kejadian berikutnya (lebih parah). Namun, sepertinya hal itu tidak bekerja dengan optimal.

Penduduk Kampar harus mengetahui bahwa sebagian besar wilayah hulu DAS Kampar terletak di daerah mereka sendiri, yaitu 91% sedangkan 9% berada di provinsi tetangga. Hal ini mengharuskan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk berkoordinasi bukan hanya sekedar merencanakan program pelestarian DAS yang mengcover lintas sektor namun juga pengimplementasian dan pengawasan daerah hulu di daerah bersangkutan.

Penyebab Banjir
Seperti tulisan penulis bulan lalu, opini edisi 26 Januari 2016, yang menjadi penyebab atas musibah ini bukanlah curah hujan yang selalu turun selama beberapa hari tiada henti, bahasa Kamparnya, ‘ujan towui aghi, ndak bonti-bonti do!’. Sekali lagi, bukan itu yang jadi permasalahan utama bencana banjir ini. Penulis mengajak kepada masyarakat terutama pemerintah untuk memahami bagaimana kejadian yang sudah lama tidak terjadi ini kembali berulang di tahun 2016. Bahkan barangkali hanya sebagian orang yang mengetahui bahwa tujuan dari pembangunan waduk PLTA Koto Panjang adalah untuk memitigasi banjir yang terjadi puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang? Siapa yang bertanggung jawab atas permasalahan ini? Bagaimana antisipasi bencana yang dapat dikatakan sebagai bencana akibat perbuatan manusia ini?

Penulis mengasumisikan bahwa banjir yang sangat besar tersebut bukan disebabkan oleh faktor alam atau fisik melainkan karena akibat tindakan manusia. Barangkali bukan rahasia umum lagi, jika kawasan hutan lindung yang ada di daerah hulu DAS Kampar dan di sekitar waduk PLTA Kota Panjang sudah dirubah dengan sengaja untuk area penggunaan lain (APL). Akan tetapi, mengapa tindakan ini begitu mudah dilakukan oleh oknum-oknum tersebut? Bagaimana mendapatkan izin untuk menggarap lahan yang seharusnya melindungi banyak orang dari bencana banjir beberapa hari kemarin?

Seharusnya kita semua sadar, sejak tahun 1978 memang terjadi banjir besar di sepangjang sungai Kampar. Dikarenakan topografi yang rendah maka membuat pemimpin pada saat itu mencanangkan adanya waduk yang berfungsi menahan debit air yang berasal dari provinsi tetangga. Tindakan inilah yang disebut dengan mitigasi struktural. Namun, sayang, hanya berselang 38 tahun sejak waduk ini diresmikan, yaitu tahun 1996, fungsi tersebut hilang hanya dalam waktu 1 hari. Penulis juga menyangsikan bahwa kejadian banjir ini akan terus berulang tiap tahunnya dengan intensitas yang berbeda, jika tata guna lahan di kawasan hulu di daerah tersebut tidak diperbaiki atau dikonservasi oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Apabila dibiarkan oleh pemerintah, maka hanya tinggal menunggu bencana selanjutnya.

Setelah banjir akan ada kekeringan
Sistem alam yang perlu diingat bahwa, jika suatu kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan resapan air (kawasan hutan lindung) diubah menjadi lahan terbuka maka air hujan yang jatuh tidak akan terserap secara maksimal oleh tanah. Akibatnya, limpasan permukaan seterusnya debit sungai tidak dapat dielakkan sehingga mengakibatkan banjir. Nah, dikarenakan tidak ada simpanan air yang diserap oleh vegetasi yang berada di kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung, artinya, kandungan air tanah akan semakin berkurang.

Kita semua mengetahui bahwa air tanah berfungsi sebagai sumber air untuk kehidupan manusia. Daerah hulu yang memiliki topografi yang tinggi akan mengalirkan air tanah tersebut ke daerah yang lebih rendah lainnya, dalam hal ini daerah DAS bagian tengah dan hilir. Jika sebelumnya sudah terjadi aliran permukaan secara besar-besaran dan tidak terdapat simpanan air di dalam tanah ketika musim hujan (berujung banjir), akibatnya kemudian jika musim hujan telah berakhir, cadangan air bawah tanah tidak akan cukup tersedia untuk kehidupan masyarakat. Dampak lainnya sumber air yang ada di waduk pun menjadi berkurang, akibatnya kekurangan air tersebut membuat tidak maksimalnya fungsi kerja alat pembangkit listrik di waduk PLTA Kota Panjang. Apakah hal ini sudah dipikirkan oleh masyarakat? Apakah dampak tersebut sudah diantisipasi oleh pemerintah?
Wallahu’alam

Paradigma Penanggulanan Bencana yang Salah Kaprah
Bencana yang terjadi memerlukan manajemen yang komprehensif dan terukur. Manajemen tersebut dilakukan dengan perencanaan penanggulangan bencana, dimulai dari pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, emergency response dan rehabilitasi dan rekonstruksi. Penulis tidak akan menguraikan semua tahap tersebut. Namun yang menjadi inti permasalahan banjir atau lingkungan lainnya di Provinsi Riau adalah tidak teregulasinya buku pedoman tata ruang provinsi dan berefek kepada kebijakan RTRW kabupaten/kota di bawahnya. Permasalahan RTRW ini sangat riskan sehingga menyebabkan berbagai permasalahan dan sengketa lahan di berbadai daerah. Sekarang, Kabupaten Kampar, wilayah yang luas dan ber-geomorfologi dataran banjir menjadi sangat rawan untuk terjadi banjir. Namun dengan adanya pembangunan waduk PLTA Kota Panjang mengurangi kejadian banjir di daerah tengah dan hilir, akan tetapi sekarang yang terjadi adalah banjir besar di daerah hulu dan tengah DAS Kampar.

Apakah sudah terlambat bagi pemerintah daerah untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelanggaran tata guna lahan di kawasan lindung? Apakah begitu mudah untuk memberikan izin untuk merubah kawasan lindung menjadi kawasan perkebunan di daerah tangkapan air? Sungguh, kebijakan ini hanya akan menyengsarakan rakyat yang sedang berjuang untuk memperbaiki kehidupan. Alih-alih pemerintah mencanangkan Kabupaten Kampar sebagai kabupaten maju dan terbaik di Provinsi Riau. Kenyataannya, masalah lingkungan dan bencana saja pemerintah seperti tidak menyadari betapa pentingnya untuk menjaga kawasan lindung dari pihak-pihak bermodal besar. Sekali lagi, manajemen bencana bukan hanya berada pada tahap tanggap darurat namun pencegahan dan mitigasi adalah hal yang harus dilakukan dengan segera dan sangat tegas sehingga banjir yang sepertinya akan terjadi di tiap tahun setelah ini akan semakin besar peluang terjadinya serta ancaman kekeringan pun tak bisa dihindarkan.

BERDIAM DIRI ATAU BERTINDAK???

Telah dimuat di Opini Riau Pos
Edisi 26 Januari 2016

Bencana banjir terjadi akibat berbagai faktor yaitu faktor fisik (alam) dan faktor non fisik (manusia). Salah satu faktor fisik yang selalu menjadi kambing hitam pada kejadian banjir di suatu wilayah adalah faktor curah hujan. Di media elektronik, cetak atau media sosial sekalipun selalu mengekspos bahwa penyebab banjir adalah karena si ‘curah hujan’.

Pertanyaannya adalah apakah adil dan bijak jika kita menyalahkan curah hujan sebagai dalang ‘banjir’ yang sama sekali adalah rahmat dari Sang Pencipta? Mari kita menelisik ke faktor lainnya, yaitu faktor non fisik atau lebih dikenal sebagai ulah tangan manusia, yaitu perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS), pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase, perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat dan penuruan tanah (Kodoatie & Sjarief, 2010).

Diantara faktor-faktor tersebut yang diyakini paling berpengaruh terhadap kejadian banjir adalah perubahan land use yang diakibatkan oleh kebutuhan aktivitas manusia terhadap lahan (Hazarika dkk, 2015; Rosyidie, 2013; Wangsaatmaja dkk, 2006). Kebutuhan terhadap lahan ini diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk, tuntutan pertumbuhan ekonomi dan faktor lainnya yang dapat dibahas dalam kajian lainnya.

Nah, hal inilah yang harus kita perhatikan secara seksama, apakah bencana yang terjadi diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi atau tindakan kita yang seolah-olah tidak paham bagaimana sistem hutan bekerja dalam suatu DAS atau Daerah Aliran Sungai (siklus hidrologi). Seyogyanya, air hujan yang jatuh dalam suatu wilayah tangkapan air hujan akan diserap oleh tanah yang bervegetasi hutan yang dinamakan dengan proses infiltrasi.

Namun ketika vegetasi hutan diganti dengan vegetasi lain seperti perkebunan sawit (perakaran), maka air hujan (presipitasi) yang jatuh tidak sepenuhnya diserap oleh tanaman ini. Akibatnya limpasan permukaan tidak dapat dibendung lagi. Ujung-ujungnya, aliran sungai atau kawasan daerah aliran sungai di bagian tengah dan hilir akan dilanda banjir disebabkan oleh berkurangnya tutupan lahan di kawasan hulu (catchment area).

Catchment area
Sekarang kita beranjak ke lokasi yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Sebuah waduk yang mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas 114 MW (https://pltakotapanjang.wordpress.com/) ini terancam mengalami penurunan usia pakai.

Hal ini disebabkan material erosi dan sedimentasi yang mungkin sedang terjadi dalam jumlah besar di wilayah hulu DAS. Dampaknya adalah tentu menghambat kinerja waduk itu sendiri, namun asumsi ini harus dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai laju erosi dan sedimentasi akibat penggundulan hutan di sekitar waduk dan di hulu di provinsi tetangga.

Harus diingat bahwa konstruksi hebat ini sekaligus berfungsi sebagai sumber tenaga listrik yang dirancang oleh kontraktor Sumitomo Corporation dari Tokyo, Jepang. Konstruksi ini merupakan salah satu bentuk mitigasi struktural dalam mengurangi risiko banjir yang dulunya barangkali dapat dikatakan sebagai palaeoflood (tidak ada catatan yang ditemukan namun berdasarkan penuturan para orang tua terdahulu banjir terjadi dalam genangan yang sangat luas).

Yang harus diperhatikan oleh pemimpin daerah baik kabupaten maupun provinsi, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya adalah kawasan yang berada di sekitarnya waduk ini adalah berada dalam kawasan suaka alam dan hutan konservasi (rancangan RTRW Kabupaten Kampar). Menurut undang-undang penataan ruang bahwa area hutan di sekitar waduk yang seharusnya menjadi kawasan perlindungan setempat dan dalam PP No. 28 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional bahwa kawasan sekitar danau ditetapkan berjarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danau atau waduk tertinggi.

Faktanya, kita bisa melihat pemandangan hijau yang asri dulu kini sudah berubah menjadi kawasan cokelat, di sana terlihat jelas bagaimana massive nya pembakaran, penggundulan hutan dan pengalihfungian lahan di sekitar waduk. Mirisnya adalah, walaupun terpasang garis polisi di area pembakaran, namun oknum-oknum tertentu masih melakukan aktivitasnya untuk merubah tutupan lahan yang seharusnya tidak boleh dirubah menjadi peruntukan lain, apapun itu.

Namun yang terjadi saat ini membuat penulis pribadi ngeri membayangkan skenario terburuk dari turunnya daya dukung waduk tersebut. Semoga saja tidak terjadi jika pemerintah dan seluruh unsur masyarakat sadar akan risiko tersebut. Pertanyaannya, mau menunggu sampai kapan hingga terjadi bencana yang lebih besar dan ekstrim?

Akan tetapi, di sisi lain, menurut saya, jika yang melakukan penghilangan hutan tersebut adalah masyarakat dengan klaim lahan itu adalah hak ulayat, maka peran pemerintah adalah mengayomi untuk memberikan perlakuan khusus kepada masyarakat yang mungkin dulunya tergusur sebagai dampak pembangunan waduk. Hal ini memang merupakan permasalahan kepemilikan lahan di manapun di Indonesia.

Rencana salah satu instansi pemerintah BPDAS misalnya dengan program agroforestry yang tetap melindungi vegetasi berkayu namun tetap dapat menopang kehidupan masyarakat adalah dengan memvariasikannya dengan tanaman lain yang dapat menghasilkan bagi penghidupan masyarakat.

Tetapi jika yang melakukan penghilangan hutan tersebut adalah oknum-oknum pengusaha bahkan pejabat yang hanya ingin menambah kekayaan, kasus ini harus benar-benar diselidiki oleh pemerintah dan kepolisian. Bukan hanya berdiam diri, mengadakan rapat kerja dan kunjungan ke sana ke mari tapi bertindak bagaimana kejadian atau tindakan hilangnya kawasan lindung tersebut berangsur-angsur hilang dan tidak terjadi lagi.

Kegiatan Penanggulangan bencana
Kita semua sangat menghargai usaha pemerintah dalam menangani bencana yang terjadi, seperti SKPD Badan Penganggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang mengerahkan seluruh tenaga dalam menyelematkan korban banjir yang terjadi sejak tanggal 17 Januari kemarin. Tindakan ini merupakan perwujudan perlindungan kepada masyarakat dalam mengemban tugas kemanusiaan.

Tindakan ini merupakan kegiatan represif, yaitu tindakan yang dilakukan setelah terjadinya bencana.
Dari sudut pandang lain, penanggulangan bencana tidak hanya berada pada tahap kedaruratan, rehabilitasi atau rekonstruksi semata yang dilakukan pada saat dan pasca bencana terjadi. Namun, hal yang terpenting yang selalu dilupakan adalah tindak pencegahan atau rencana mitigasi bencana (tindakan preventif).

Tindakan mitigasi ini dapat berupa mitigasi struktrual dan non struktural.,Nah, yang belum ada di daerah ini adalah mitigasi nonstruktural yang berwujud perencanaan tata guna lahan yang dituangkan dalam RTRW Provinsi dan Kabupaten. Sayangnya pedoman atau kitab suci perencanaan wilayah ini belum kunjung dirampungkan sehingga bermunculan masalah seperti bencana banjir.

Setelah mitigasi ini dilakukan, terdapat tahapan lainnya yaitu kesiapsiaagaan dalam mengurangi risiko bencana yaitu kesiapsiagaan. Pertanyaan selanjutnya, apakah masyarakat kita sudah siap dalam menghadapi banjir ini? Jalur evakuasi, tempat evakusi, penyelamatan pertama dan apa yang harus dilakukan lainnya benar-benar dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat? Cukupkah sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat? Mengingat alat sistem peringatan dini yang sampai saat ini belum difungsikan secara maksimal oleh pemerintah.

Terakhir, jika kita hanya ingin befokus kepada penanggulangan bencana banjir pada pasca kejadian, maka risiko yang harus diterima adalah kerugian yang diakibatkan oleh bencana yang seharusnya terlebih dahulu dapat dilakukan dengan cara mitigasi bencana, penetapan secara ketat kawasan lindung dan pemberlakuan hukum secara tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar aturan tersebut.

Apabila hal ini belum dilakukan maka kegiatan pembangunan yang sudah dirancang dan bertujuan memajukan daerah, malah mendatangkan kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh ketidakpedulian terhadap alam dan lingkungan yang seharusnya dijaga. Karena manusia diciptakan di bumi ini adalah sebagai pengelola bumi secara arif dan paham bagaimana jika alam diperlakukan dengan tidak semestinya.

Alam tidak membutuhkan manusia, tapi kita, manusia yang bergantung kepada alam.




Selasa, 13 Desember 2016

Kasian mereka…

Mereka adalah generasi penentu kemakmuran bangsa. Tahun berganti tahun, kelak, mereka yang akan menjadi pemimpin negeri ini. Tipe kepemimpinan yang bagaimana dan seperti apa barangkali belum dapat kita prediksi dengan tepat.

Akan tetapi, lihatlah. Pengaruh zaman dan teknologi yang ada pada saat ini membuat anak muda dan remaja generasi penerus bangsa terlena dengan apa yang ada di genggaman mereka. Bahkan orang-orang tua pun kita juga melihat hal yang demikian, tapi yang saya soroti di sini adalah kaum muda. Pemuda pemudi.

Teknologi, informasi, dan gaya hidup sudah merubah pola pergaulan anak muda pada saat ini. Jika diperhatikan berdasarkan tingkat pendidikan, mulai dari sekolah menengah bahkan dari sekolah dasar pun, para pelajar sudah memiliki gadget (apapun cara mereka mendapatkannya).

Lantas, apakah salah mereka memiliki barang canggih tersebut? Apakah keliru jika mereka menggunakan benda ajaib tersebut untuk memudahkan hidup mereka? Nah, apakah benar memudahkan mereka? Sebagian orang akan menjawab, ‘iya, lebih mudah dan sangat berguna’.

Menurut pemikiran saya selama ini dan saya berpendapat bahwa hal ini sangat sangat merugikan mereka.  Saya tidak mengenyampingkan kepraktisan yang didapat dari gadget yang mereka miliki. Tidak! Namun ada hal yang sangat saya sayangkan dari hal tersebut.

Pertama, memang terlihat tidak adil jika membandingkan masa anak muda sekarang dengan masa anak tahun 1990-an atau lebih jauh ke belakang. Masa dulu, kita tidak pernah mengandalkan ‘si handpone’ untuk kebutuhan mata pelajaran, penolong pekerjaan rumah, dan mengetahui apa yang dikerjakan oleh teman-teman.

Dulu, kita hanya mengandalkan internet untuk mencari sumber atau referensi akademik dan itupun hanya dalam kadar yang sewajarnya. Hanya browsing sebentar di ‘warnet’ lalu pergi melanjutkan aktivitas lain. Atau bolehkah saya meminta konfirmasi apakah hal ini yang dilakukan anak muda 1990-an? Jika tidak benar berarti itu adalah pengalaman saya sendiri. Maafkan.

Sekarang lihat pada saat ini, mereka menggunakan gadget untuk semua aspek dan kebutuhan hidup. PR, berkumpul dengan teman, pergi ke sana kemari, semuanya mudah dilakukan dengan gadget. Ke mana-mana isi genggaman tangan mereka adalah android, i-phone, dan tipe-tipe yang sudah dianggap teman kecil mereka.

Yang saya sayangkan di sini adalah usaha mereka yang terlalu mudah untuk mengakses informasi dan asisten untuk pengerjaan tugas rumah mereka. Cobalah untuk berpikir lebih kritis lagi tanpa harus membaca sumber-sumber yang ada di gadgetmu terlebih dahulu, pikir dahulu, baru cari pendukung dan penolak ide dan pendapatmu.

Kedua, masalah waktu hidup. Coba sekarang kita jujur dengan diri sendiri, berapa lama kita menatap layar terang nan menyakitkan mata itu? 7 jam? 10 jam? 15 jam? Atau 20 jam? Oh tidak, alokasi waktu yang lebih banyak dari istirahat dalam sehari bukan?

Apa yang didapat dari aktivitas yang membuat mata yang awalnya bagus lalu menjadi minus atau kerusakan mata lainnya? Apa yang dirasakan ketika kita bersama orang tersayang lalu kita malah asik memandang ke bawah sembari cekikikan sendirian? Lalu jari-jari sibuk mencari kesenangan sementara orang yang dihapadan kita merasa sangat terabaikan? Bahkan keluarga? Tidak, saya lebih baik menyimpan kotak kecil itu.

Benang merah yang saya sampaikan pada poin ke dua ini adalah keborosan waktu yang sudah kita lakukan selama ini terhadap apa yang ada di genggaman tangan. Lihat dan perhatikan anak muda zaman sekarang, SMP, SMA di mana-mana mereka tekun dengan gadget mereka.

Dulu kita lebih banyak bermain dengan teman-teman, banyak belajar, dan berkumpul dengan keluarga. Namun, pada saat ini saya merasakan hal yang sangat sia-sia. Ketika waktu dalam sehari lebih banyak digunakan untuk berinteraksi dengan benda mati, lalu apakah hidup ini menjadi lebih produktif?

Kasian, dulu waktu sangat banyak dihabiskan untuk kegiatan beragam, tapi sekarang, apa-apa, di mana-mana, gimana gimana semuanya lihat ke bawah (nunduk). Tidak ada waktu yang tidak terpakai untuk si canggih nan pintar itu. Banyak waktu yang terkucur habis demi memantau perkembangan terbaru dari handpone yang dimiliki masing-masing.

Lupa, bahwa waktu dalam satu hari itu hanya sedikit untuk melakukan hal yang berarti. Ternyata malah habis untuk hal yang belum tentu bermanfaat untuk hidup di masa muda. Lagi, jika dibandingkan dengan masa sekolah saya dulu, saya berani mengatakan, saya beruntung karena saya tidak tergantung dengan kecanggihan gadget masa sekolah.

Waktu terasa lebih berharga dan kegiatan sehari-hari dilakukan dengan sepenuh hati tanpa  harus menundukkan kepala setiap saat. Kecuali jika bertemu dengan para guru di sekolah. Hehe… jadi kasian mereka, waktu mereka habis di tekukan kepala, waktu mereka habis untuk hal indah di hadapan mereka, dan mereka lalai terhadap masa depan mereka.

Akhirnya, saya meminta maaf jika tulisan ini jauh dari kebenaran dan fakta sebenarnya. Karena saya hanya merasa kasian dan ‘waktu’ masa muda saya dahulu (masa 1990an) lebih terselamatkan. ^_^


Rabu, 07 Desember 2016

UK

Bermula Dari...

 

Undangan Mereka

 

Kertas tebal dengan ukuran 10 x 10 cm berwarna keemasan dengan foto pre-wedding elegan tergeletak begitu saja di atas meja kerjaku. Hiasan bunga dan pita kuning ikut mempercantik desgin undangan yang bisa kutaksir harganya sekitar 15 ribu per eksemplar. Aku tau, yang mengundang bukan orang biasa, jadi penampakan undangan sudah dapat dinilai apakah mempelai dari kelas menengah ke atas atau bukan. Aku sendiri tidak tau apakah akan dibaca atau tidak sampai ke dalam isi undangan itu. Toh, dari foto sudah terlihat pernikahan siapa, ditambah dengan melihat tulisan bagian depan mungkin sudah cukup, -tertulis- The Wedding Suci dan Petra, Kota Dahlia, 12 Juli 2016, untuk Aurora dan pasangan, -as always.

‘Hhhhhhh..........’, aku melenguh panjang.

Kenapa harus ada embel-embel “& pasangan” setelah nama seseorang yang jelas-jelas belum menikah? Apakah itu sejenis motivasi agar si penerima undangan segera menikah? Atau apakah itu cuma tradisi di kota kecilku yang kalau si penerima undangan belum berkeluarga tinggal dicantumkan saja ‘the partner’ yang keberadaannya masih belum tau rimbanya? Begitulah pemikiran sarkastik dan negative thinkingku melihat semua hal yang terjadi dalam hidup. Am I alone? -aku harap tidak semua pembaca-.

Tentu, bagi seorang yang belum pernah mengirimkan kabar pernikahan bukan hal yang begitu menggiurkan bagiku. Berbeda sekali pada saat masih kanak-kanak yang begitu girang mendapatkan undangan pernikahan walaupun sebenarnya ditujukan untuk ayah dan ibuku. Tertulis jelas untuk ‘Hasan dan keluarga’. Jelas kan? karena memang sudah berkeluarga dan itu sangat tepat menurutku.

Jika sudah mendapat undangan pernikahan di masa kecil itu, artinya, akhir pekan kita sekeluarga akan makan besar di pesta pernikahan orang lain kan? begitu menggelitik tapi ada kesenangan tersendiri kala itu. Kalian juga pasti pernah merasakannya. Wah ini, siapa yang mau ada pesta pernikahan? Asik… kita bisa pergi bersama-sama dengan outfit yang semarak atau bahkan seragaman, layaknya keluarga yang lain, seperti fashion show saja.

Lalu, momen yang ditunggu-tunggu adalah menikmati setiap hidangan yang disajikan layaknya pesta seribu satu malam itu. Jika si tuan rumah adalah orang yang cukup berada maka antusias kami akan semakin tinggi. Aku dengan ibuku akan sama-sama menebak, akan ada apa saja ya nanti hidangannya? Sate, soto, es buah, kue jala, paniagham[1], buah, atau ada es tebak? Seperti itulah tebak-tebakan antara aku dengan ibuku yang memang sangat suka sekali menyantap makanan, lebih tepatnya sering merasa lapar. Nah, sebagai triknya, kami yang akan berangkat jangan makan apapun dari rumah. Nanti saja, dipuas-puasin saat makan di acara pesta di rumah orang yang dianggap akan loyal di hari pernikahan anaknya. Namun, jika yang punya hajat adalah orang biasa saja, ya... semangat memenuhi undangannya akan biasa-biasa saja. Suatu tendensius yang tidak patut tentu saja.

Begitulah kira-kira ilustrasi motivasi orang-orang di kampungku jika ada yang menggelar acara pernikahan. Bukan salaman dahulu dengan mempelai pengantin dan keluarga tapi langsung ke berkeliling di seantero meja hidangan. Sedikit bar-bar bukan? Prinsipnya, nikah itu cuma sekali, mbok ya sekalian kita pol-polan kan? Royal sedikit lah. Andai bisa menggunakan emoticon di kisahku ini, pasti sudah sangat ramai sekali dengan kepala-kepala botak berwarna kuning.

Lupakan soal pesta dengan custom pada era 90-an tadi. Ini tentang undangan keemasan dari teman yang tak pernah kusangka, tertulis nama Suci dan Petra. Mereka teman kampusku dulu. Kenapa mereka menikah? Kenapa Petra akhirnya tidak bersama Inggrit? Bukankah dulu mereka pernah ada kisah dan pernah kucomblangin? Ternyata tidak berhasilkah? Ya Tuhan, apa kuasaku mengatakan seperti itu? Maafkan aku.

Hanya karena undangan pernikahan kedua temanku itu, sepintas ada muncul kenangan-kenangan masa laluku saat kuliah dulu, di Kota Lily. Sejenak terputar kembali kenangan dan perasaannya yang dulu pernah ada. Perasaan yang sama sekali terus kukubur secara perlahan sejak tujuh tahun terakhir. Tujuh tahun? Mengapa begitu sulit?



[1]paniagham; sejenis makanan tradisional yang terbuat dari tepung ketan dicampur dengan parutan kelapa